KEBIJAKAN KOMUNIKASI PADA ERA KOLONIAL JEPANG DAN BELANDA


Kuasa Jepang Di Jawa

Sumber: Zenius.net

Media Dan Teknik Baru Propaganda Jepang
1. Acuan Dasar kebijakan Propaganda Jepang
a. Sendenbu
Menurut Kurasawa (2015), propaganda merupakan suatu hal yang penting dari pemerintahan militer dan kewajiban pokok dari awal pendudukan. Departemen Jepang membentuk Sendenbu atau departemen propaganda. Sendenbu dibentuk dalam badan pemerintahan militer atau biasa disebut sebagai Gunseikanbu. Sendenbu dibentuk pada bulan Agustus tahun 1942 dan bertanggung jawab atas propaganda dan semua informasi yang berkaitan dengan pemerintahan sipil.
b. Organisasi propaganda lokal
Sejak awal staf propaganda Jepang dikirim ke kota-kota besar, antara lain: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Malang, dan Surabaya agar dapat menjalankan serangkaian kegiatan propaganda yang telah direncanakan (Kurasawa, 2015). Badan-badan dari kota-kota tersebut dikembangkan secara teratur dan disebut sebagai Unit Operasi Distrik.
c. Profil para propagandis
Shimizu Hitoshi merupakan seorang propagandis profesional (Kurasawa, 2015). Ia memulai karier propagandanya di negara China pada tahun 1930-an. Pada saat di Peking, Shimizu Hitoshi bertugas untuk melakukan indoktrinasi rakyat China melalui organisasi massa dituntun oleh Jepang melalui organisasi Shinminkai. Setelah ia bekerja di China, Shimizu kembali ke Jepang pada tahun 1940 dan masuk ke organisasi Persatuan Pembantu Pemerintahan Kekaisaran. Setelah beberapa tahun, Shimizu masuk ke Angkatan Darat ke 16 sebagai Atase Sipil dan bertanggung jawab atas propaganda.
d. Rancangan propaganda dan media
Rancangan propaganda dasar setiap tahun anggaran dibuat oleh Gunseikan sebagai kepala pemerintahan militer (Kurasawa, 2015). Gunseikan mengikuti rencana umum yang ditetapkan oleh Nanpo Sogun atau Markas Besar Tentara Umum Wilayah Selatan. Kerangka propaganda selalu berubah setiap tahap sesuai dengan pergeseran kebijakan dasar pemerintahan militer.

2. Media Propaganda Baru
- Film-film yang dipertunjukkan di pulau Jawa
- Pemutaran film di masyarakat Jawa
- Media propaganda audiovisual lainnya antara lain: drama, wayang, tari-tarian, nyanyian, dan siaran radio.

3. Evaluasi Atas Propaganda Jepang
Menurut Kurasawa (2015), perhatian utama Jepang adalah bagaimana cara meningkatkan tujuan propaganda, namun tidak merusak aspek hiburan atau artistik dari pertunjukan kesenian terutama kesenian tradisional Jawa. Bahan propaganda yang dihasilkan dari budaya Jawa lebih ketat dibandingkan dengan bahan dari budaya Jepang. Sasaran utama dari propaganda Jepang adalah memobilisasi masyarakat Indonesia dalam upaya perang Jepang dan agar tujuan tersebut tercapai, Jepang melakukan pengalihan mentalitas rakyat Indonesia dalam mentalitas Jepang. Pemerintah berusaha menyajikan gambaran pria dan wanita ideal pada masa perang. Jepang juga mengajarkan ideologi Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dan diterima oleh masyarakat Indonesia.
Pers Belanda
Sumber: Sivofestival.nl

Menurut Suryomihardjo (2002), Pada zaman kolonial terjadi perkembangan pers hingga abad 19 yang berkembang di Hindia Belanda. Saat itu warga Belanda menjadi pemegang kekuasaan pers karena mereka mempertahankan sistem kasta dan sewenang-wenang dalam memerintah sehingga mereka yang mengatur kehidupan masyarakat serta media massa di Hindia Belanda.
Gubernur Jenderal Van Imhoff pada tahun 1744 menerbitkan surat kabar pertama kali yang bernama Bataviasche Nouvelles sebagai percobaan media massa. Kemudian setelah itu muncul surat kabar selanjutnya yang bernama Het Vendu Nieuwes yang bersifat lebih terbuka dibandingkan dengan surat kabar sebelumnya. Setelah itu, pada awal abad 19 terdapat kemunculan surat kabar yang bernama Bataviasche Kolonial Courant yang kemudian beralih menjadi surat kabar berbahasa Inggris karena pemerintahan pada saat itu dipegang oleh Inggris yang bernama Java Government Gazette. Namun, surat kabar tersebut kemudian kembali ketangan Belanda dan berubah nama menjadi Javasche Courant (Suryomihardjo,2002).
Seorang pendeta yang bernama Van Hoevell pada tahun 1848 melawan pejabat pemerintah yang sangat otoriter dengan menerapakan peraturan pers yang baru yang bersifat terbuka agar masyarakat lebih bebas dalam mengemukakan pendapat umum tanpa ada tekanan. Setelah itu seorang warga Belanda bernama W. Bruining yang berasal dari Rotterdam membawa sebuah mesin ketik pertama kali ke Indonesia namun Ia akan dipulangkan ke Nederland sebagai ganti rugi agar mesin cetak yang Ia bawa tidak digunakan tetapi Ia menolak tawaran tersebut dan menerbitkan surat kabar yang bernama Het Bataviasche Advertentie Blad yang kontennya berisi iklan dan kutipan berita umum yang berasal dari Staatscorant dan berita daerah jajahan yang bernama Javasche Courant.
Di tahun 1852 muncul sebuah surat kabar di Betawi yang menggantikan Het Bataviasche Advertentie Blad yang bernama Java Bode yang merupakan surat kabar mingguan dihargai 25 gulden selama setahun. Surat kabar tersebut didirikan oleh W.Bruining dibantu dengan H.M Van Dorp, Van Hazen Noman, serta Kolff. Kemudian pada tahun 1857 seluruh perusahaan beralih ketangan Van Dorp dan Ia menerbitkan surat kabar istimewa di Nederland. Pada akhir 1869 Java Bode berubah menjadi surat kabar harian (Suryomihardjo,2002).
Salah satu surat kabar yang berisi tentang kebijakan-kebijakan permerintah yaitu Java Bode di mana surat kabar tersebut memberikan informasi mengenai rencana serta hal-hal yang terjaddi di kalangan pemerintah. Kemudian mengikuti perkembangan zaman banyak bermunculan beberapa surat kabar baru di kota lainnya seperti Surabaya, Bandung, Cirebon, Surakarta, Betawi, Sumatra, Semarang, Yogyakarta, Padang, Palembang, Kalimantan Barat dan Timur, serta Makassar.
Kantor Berita ANETA
            Seiring dengan perkembangan zaman surat kabar telegram semakin berkembang pada zaman kolonial. Ketika Perang Dunia I terjadi pada 1 April 1917, I, D.W. Berrety yang merupakan mantan pegawai kantor telegraf yang berpengalaman kerja di Bataviasch Nieuwsblad dan Java Bode, mendirikan sebuah kantor berita yang dinamakan Kantor Berita ANETA (Algameen Nieuwsblad En Telegraaf Agentschap). Kantor berita tersebut menginformasikan tentang keadaan yang terjadi selama 24 jam ketika Perang Dunia I terjadi (Suryomihardjo,2002).
Persbreidel Ordoonantie dan Haatzai Artikelen
            Pada tanggal 7 September 1931 pemerintah mendirikan Persbreidel Ordoonantie yang bertujuan untuk melarang terbitan yang merugikan masyarakat umum dan bersifat memaksa yang melawan hukum yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal yang memimpin pemerintahan.
            Pemerintah Belanda menjalankan sebuah tindakan dengan memberikan ancaman berupa hukuman bagi masyarakat yang menebar kebencian, penghinaan, serta memicu permusuhan terhadap Nederland yang disebut sebagai Haatzai Artikelen. Hal tersebut tercantum di dalam pasal 154-157 dari Werboek van Strafrecht. Salah satu yang menajdi kasus yaitu ketika Raden Mas Soewardi Soeryadiningrat yang merupakan redaktur penanggung jawab Persatoean Hindia pada tahun 1920 dijatuhi hukuman selama 3 bulan karena memuat konten berisi “Volk dan Pemerintah” (Suryomihardjo,2002).

Pengembangan SRV dan Pendirian Cabang-Cabang di Luar Solo
Menurut Wiryawan (2011), berdirinya SRV di kota Solo sebagai tonggak pertama penyiaran radio di Indonesia didasari oleh budaya serta kesenian lokal Nusantara yang tidak dapat disiarkan pada masyarakat lokal karena radio penyiaran dikuasai konten dan kebudayaan Belanda di dalamnya. Semenjak berdirinya pada 1 April 1933, SRV menjadi lahan untuk menyiarkan kesenian dan hiburan lokal asli Nusantara. Ada 3 program kerja dari SRV sendiri di mana yang pertama adalah membentuk cabang-cabang SRV di luar kota Solo. Yang kedua, pengadaan sarana dan prasarana terutama berupa gedung pemancar untuk siaran SRV. Ketiga, penataan program siaran yang berdasarkan budaya Ketimuran atau budaya Nusantara.
Sampai hingga ‘virus’ SRV menyebar ke banyak daerah di Indonesia (Wiryawan, 2011). Hal ini terjadi karena menara penyiaran SRV yang mampu untuk menjangkau wilayah yang semakin luas di Indonesia, hingga semakin mendapatkan pendengar di banyak daerah Nusantara. Alasan mengapa SRV dapat cepat berkembang di masa kolonialisasi Belanda karena SRV menyiarkan kesenian dan kebudayaan lokal dengan siaran berbahasa daerah yang sangat familiar di telinga rakyat Indonesia kala itu, berbeda dengan radio yang dikuasai Belanda pada masa sebelumnya di mana kebudayaan lokal tidak mendapatkan tempat untuk disiarkan kepada masyarakat. Untuk memperoleh dana administratif SRV, setiap anggota dikenakan biaya iuran rutin untuk biaya operasional bulanan SRV.

Sumber:
Kurusawa, A. (2015). Kuasa Jepang di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Suryomihardjo, A. (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas.
Wiryawan, H. (2011). Mangkunegara VII dan Awal Penyiaran Indonesia. Solo: LPPS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebijakan Komunikasi di Era Reformasi: Pers