Kebijakan Komunikasi di Era Reformasi: Pers
Era Reformasi
Istilah
reformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan yang dilakukan
untuk memperbaiki bidang-bidang tertentu yang ada di lingkungan masyarakat
maupun negara. Menurut Widjaja (2011), reformasi merupakan usaha-usaha yang
dilakukan agar pratik di bidang politik, pemerintah, ekonomi, dan sosial budaya
yang dianggap masyarakat tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat diubah dan
ditata ulang agar menjadi lebih sesuai. Kesimpulan dari istilah reformasi ini
adalah keinginan untuk mengubah masa yang dihadapi saat ini. Pada era
reformasi, terdapat beberapa faktor yang mendasari pergerakan perubahan orde
baru ke era reformasi, yaitu:
-
Krisis Politik
Pada
era orde baru, kebijakan politik dikaitkan dengan demokrasi Pancasila. Namun,
sebenarnya hanyalah alasan agar Soeharto tetap memimpin Indonesia. Kebijakan
politik yang berlaku merupakan demokrasi rekayasa untuk kepentingan pemerintah.
Berikut ciri-ciri kehidupan politik represif, antara lain:
1. Setiap
orang maupun kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dianggap bertindak
subversif.
2. Pelaksanaan
Lima Paket UU Politik dan melahirkan demokrasi semu.
3. Merajalelanya
korupsi, kolusi, dan nepotisme dan masyarakat tidak memiliki kebebasan.
4. Pelaksanaan
Dwi Fungsi ABRI yang membebaskan setiap warga sipil.
5. Kekuasaan
presiden tidak terbatas
-
Krisis Hukum
Kekuasaan
peradilan dilaksanakan untuk melayani kepentingan penguasa. Hukum dijadikan
sebagai alat pembenaran penguasa. Krisis hukum ini bertentangan dengan ketentuan
pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang
merdeka dari lembaga eksekutif.
-
Krisis Ekonomi
Indonesia
mengalami krisis moneter sejak bulan Juli 1996 yang mengakibatkan ekonomi
Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global. Krisis ekonomi ini ditandai
dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
-
Krisis Sosial
Krisis
sosial disebabkan karena adanya krisis politik, hukum, dan ekonomi. Praktek
politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan adanya konflik politik,
bahkan konflik antar etnis dan agama. Puncaknya adalah adanya kerusuhan di
berbagai daerah di Indonesia.
-
Krisis Kepercayaan
Setelah
terjadinya krisis multidimensional mengakibatkan kurangnya kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan Suharto. Pemerintah yang tidak mampu membangun
kehidupan politik yang demokratis, penegakan hukum dan keadilan, dan
pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat mengakibatkan
krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Dinamika
Kebijakan Informasi dan Komunikasi Era Reformasi :
a.
B.J. Habibie
(Sumber: map-bms.wikipedia.org)
Pada masa pemerintahan oleh B.J. Habibie Beliau
mengesahkan UU No 40 tahun 1999 tentang pers pada tanggal 23 September 1999
sebagai ganti dari UU pers sebelumnya. UU No. 40 tahun 1999 berisi mengenai
pencabutan pembredelan pers pada pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 tahun 1999,
penyederhanaan permohonan SIUPP pada pasal 9 ayat 2 UU No. 40 Tahun 1999, melindungi
praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda Rp. 500
juta bagi yang menghambat kemerdekaan pers pada pasal 4 ayat 2 juncto Pasal
18 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999, dan Mencabut SK
Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai
satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri
era wadah tunggal organisasi kewartawanan, sehingga tidak sampai dalam satu
tahun telah tumbuh 34 organisasi wartawan cetak dan elektronik.
b. K.H Abdurrahman Wahid
Pada masa
pemerintahannya, ada suatu kebijakan yang sangat berkaitan dan berpengaruh terhadap pers adalah keputusan
untuk dilakukan pembubaran dan penghapusan Departemen Penerangan. Menurut Lubis
(2016) Gus Dur sendiri menganggap jika UU Pers sesuai dengan gagasan beliau
mengenai kebebasan pers, dan menjadi tonggak kebebasan tersebut.
Penghapusan
Departemen Penerangan kemudian dilanjutkan dengan dibentuknya BIKN (Badan
Informasi dan Komunikasi Nasional) pada 7 Desember 1999 yang didasari oleh
Keppres no 153 tahun 1999 sebagai pengganti Departemen Penerangan, yang menjadi
cikal bakal Kominfo di kemudian hari. Deppen sendiri pada masa kepemimpinan Gus
Dur diakui oleh Menteri Penerangan masa itu yaitu Yusuf Yosfiah (Lubis, 2016)
setelah adanya UU Pers tahun 1999, tidak ada lagi tugas bagi Deppen.
Dalam dunia pers beliau melakukan beberapa
kebijakan salah satunya menetapkan Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi
pada tahun 2001. Saat itu yang ditunjuk sebagai Menteri Negara adalah Syamsul
Mu'arif. Selain itu juga dibentuklah Lembaga Informasi Nasional (LIN). LIN
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pelayanan informasi
nasional.
Pada Era
Kepemimpinan SBY juga memperoleh kebijakan yaitu menggabungkan Kementerian
Negara Komunikasi dan Informasi, Lembaga Informasi Nasional, dan Direktorat
Jenderal Pos dan Telekomunikasi yang berasal dari Departemen Perhubungan dan
ditambahkannya direktorat jenderal baru yaitu Direktorat Jenderal Aplikasi
Telematika.
Pada masa pemerintahan
beliau, kebebasan pers dinilai masih rendah yang ditunjukkan dengan
perlindungan buruk terhadap wartawan. Berdasarkan (Tirto, 2017)
bahwa pada masa
pemerintahannya, juga terdapat kebijakan clearing
house yang merupakan sebuah mekanisme untuk menyaring permohonan wartawan
asing yang hendak meliput kondisi Papua yang seharusnya bebas untuk dipantau
terkait dengan HAM internasional.
Pada era reformasi kegiatan
pemerintahan menjadi lebih demokrasi di mana hal tersebut sangat berbeda jauh
dibandingkan dengan masa era orde baru. Hal tersebut ditunjukkan dengan
perubahan kebijakan pemerintah terkait kebebasan pers dalam berpendapat namun
tetap bersifat netral dan tanggung jawab pada pemerintah, rakyat, dan negara.
Perubahan kebijakan tersebut didukung oleh adanya perubahan beberapa peraturan
yang dianggap merugikan pers dalam, yaitu:
a. Mengesahkan
UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers pada tanggal 23 September 1999.
b. Pasal
9 ayat 2 UU No. 40 Tahun 1999 meniadakan keharusan mengajukan SIUPP untuk
menerbitkan pers.
c. Pasal
4 ayat 2 UU No.40 tahun 1999 menghilangkan ketentuan sensor dan pembredelan
pers.
d. Pasal
4 ayat 2 juncto pasal 18 ayat 1 UU
No.40 Tahun 1999 melindungi praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua
tahun penjara atau denda Rp. 500 juta bagi yang menghambat kemerdekaan pers.
e. Mencabut
SK Menpen No.47 Tahun 1975 tentanf pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai
satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri
era wadah tunggal organisasi kewartawanan sehingga tidak sampai dalam satu
tahun telah tumbuh 34 organisasi wartawan cetak dan elektronik.
f. Membubarkan
departemen penerangan karena dianggap sangat mengekang kebebasan pers namun
dibentuk dewan pers yang berguna untuk mengontrol serta menetapkan kode etik
dan menjadi mediator jika terjadi kesalahpahaman diantara rakyat dan
pemerintah.
Perbedaan
Pers pada era Orde baru dan Reformasi
Terdapat perbedaan yang pers
pada era orde baru dan reformasi di mana pada masa orde baru banyak terjadi
pembredelan media yang dilakukan oleh departemen penerangan karena konten yang
dimuat di dalam media tersebut tidak sesuai dengan keinginan pemerintah. Hal
tersebut terjadi karena pers selalu diawasi oleh pemerintah dan harus bersifat
pro terhadap pemerintah. Berbeda dengan era orde baru, era reformasi dianggap
lebih terbuka ditunjukkan dengan dihapusnya SIUPP dan kemudahan dalam
memperoleh informasi serta mendirikan media.
Walaupun era reformasi
dianggap memberikan kebebasan pers namun pada kenyataannya tidak demikian
karena masih terdapat banyak ancaman terhadap pers. Kebebasan pers dibatasi
dengan adanya kemunculan pers patisan yang berpihak terhadap organisasi atau
partai politik tertentu sehingga hal tersebut dianggap menyimpang dari kaidah
profesionalisme jurnalistik. Selain itu, terdapat penghapusan state regulation yang digantikan dengan market regulation di mana hal tersebut
ditentukan oleh mekanisme pasar seperti adanya penawaran dan permintaan. Hal
tersebut mendeskripsikan keadaan saat ini di mana media hanya mengutamakan
keuntungan dari minat masyarakat terkait konten yang dipublikasikan bersifat
kontroversial sehingga dapat memunculkan opini publik (Hidayat, dkk, 2000:452).
Daftar
Pustaka
Hidayat, D.N., Gazali, E., Suwardi,
H., Kartosapoetro,I.S. (Eds.). (2000). Pers
dalam “Revolusi Mei”:
Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nurudin. (2008). Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Widjaja,HAW. (2011). Otonomi Daerah dan Daerah Otonom.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Lubis, C. (2016). Gus Dur Sang Pembela Kebebasan Pers.
Diakses dari http://telusur.metrotvnews.com/news-telusur/ybJyW68N-gus-dur-sang-pembela- kebebasan-pers
Tirto.id. (2017). Perayaan Kebebasn Pers di Jakarta, Gelap di
Papua. Diakses dari https://tirto.id/perayaan-kebebasan-pers-di-jakarta-gelap-di-papua-cn6W
Tirto.id. (2019). Hari Pers Nasional: Tak Ada Progres
Kebebasan di Era Jokowi. Diakses dari https://tirto.id/hari-pers-nasional-tak-ada-progres-kebebasan-pers-di-era-jokowi-dgpf
Komentar
Posting Komentar