KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI ERA ORDE BARU
Kebijakan Komunikasi Di Era Orde Baru
Sumber: kitapunya.net
Hubungan
Negara dan Masyarakat
Menurut John Locke eksistensi dari
sebuah kekuasaan dan kedaulatan negara tercipta karena hasil pelimpahan
kekuasaan dan kedaulatan dari masyarakat. Negara diciptakan oleh masyarakat dan
bertujuan untuk membela dan melindungi hak-hak warga negaranya. Namun, Jean
Jacques Rousseau berpendapat bahwa negara dan masyarakat merupakan satu
identitas yang tidak dapat dipisahkan. Faktor yang menyatukan negara dan
masyarakat adalah kehendak umum semua warga negara untuk kepentingan bersama.
Kehendak masyarakat merupakan kehendak negara begitu juga sebaliknya.
George Willhelm Friedrich Hegel
menyatakan bahwa negara harus memiliki inisiatif untuk melakukan tindakan demi
kepentingan warga negaranya. Sedangkan menurut Karl Marx negara merupakan alat
dari kaum kapitalis untuk mengeksploitasi kaum buruh yang pada zaman itu adalah
kaum mayoritas. Negara juga menjadi alat reproduksi kaum kapitalis untuk
mengakumulasi modal dan menguasai kaum buruh.
Teori-Teori tentang Negara dan
Masyarakat
-
Teori Pluralis
Teori
ini menjelaskan mengenai proses politik berlangsung dalam suatu negara. Negara
pasti memiliki pluralisasi kekuatan sosial politik, sehingga kekuasaan menjadi
ciri kelompok dominan dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam teori
pluralis memandang bahwa hubungan negara dan masyarakat tidak seimbang.
-
Teori Organis
Teori
Organis memandang negara harus berperan aktif dan memiliki inisiatif untuk
menentukan keputusan-keputusan politik untuk pembangunan negara. Dalam teori
organis ini memandang bahwa hubungan negara dan masyarakat tidak seimbang. Hal
ini dilihat dari ciri negara yang dominan dan masyarakatnya sub-ordinan.
-
Teori Marxis
Teori
Marxis mengemukakan bahwa negara mempunyai otonomi yang relatif. Negara
memiliki otonom secara penuh atas kaum buruh, tetapi tidak memiliki kekuasaan
yang tinggi saat berhadapan dengan sistem kapitalisme.
-
Teori Intergralistik
Teori
Intergralistik mengemukakan bahwa negara menyelesaikan paham golongan dan
perseorangan. Persatuan negara dan kesatuan negara menjadi suatu dasar dalam
teori ini. Negara dan masyarakat adalah dua bagian yang bersatu dan berasaskan
kekeluargaan dan gotong royong.
Pers, Masyarakat dan Orde Baru
Dari teori-teori di atas dapat
disimpulkan bahwa, negara dan masyarakat merupakan entitas yang berbeda, negara
bersifat otonom dan mendominasi masyarakat, negara tidak bersifat netral dan
memihak kelas yang dominan, dan negara bersifat dependen (Abar, 1995). Dari
empat kesimpulan tersebut, memiliki dua konsekuensi, yaitu: pers dipandang
sebagai mediasi interaksi dari kekuataan ekonomi, politik, dan sosial dan pers
dipandang sebagai kekuatan sosial politik (non
negara) berinteraksi dalam orde politik tertentu.
Model Hubungan Pers
Hubungan pers, negara, dan
masyarakat dibagi menjadi dua model, yaitu: model dominatif dan model
pluralistik. Dalam model dominatif, distribusi sumber kekuasaan berpusat pada
kaum dominan. Sehingga mengakibatkan konten media yang disebarkan cenderung
pada segi ekonomi politik. Sedangkan dalam model pluralistik, distribusi
kekuasaan pada kelompok sosial politik yang bersifat non negara. Media tidak
hanya dikuasai oleh negara, namun masyarakat luas juga menguasai media dan
keduanya tetap mengikuti regulasi yang berlaku. Akibat dari model ini adalah
orientasi media lebih kepada masyarakat. Selain itu kontenya juga lebih beragam
dan plural.
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar
Mengenai Peraturan Peperti
Mochtar menentang Peraturan Peperti nomor
10 tanggal 12 Oktober 1960 yang dikeluarkan oleh Djuanda. Mochtar mengusulkan
Rosihan Anwar (pemimpin redaksi) Pedoman diberhentikan. Hal ini dikarenakan
oleh Rosihan telah menandatangani 19 persyaratan Peraturan Peperti. Setelah
Rosihan menandatangani persyaratan tersebut, izin terbit Pedoman tetap dicabut
dan dilarang terbit sejak tanggal 7 Januari 1961. Larangan terbit ini adalah
salah satu usaha pemerintah untuk menghentikan penerbitan pers yang mendukung
gerakan PSI dan Mayumi. Pedoman dapat membantu meningkatkan kesadaran tentang
hak manusia dan masyarakat, dan membantu masyarakat untuk memperjuangkan hak
mereka (Anonim, 2002).
Indonesia Raya 1968-1974
Surat kabar Indonesia Raya ditutup
karena adanya masalah manajemen, namun pada akhirnya dapat terselesaikan.
Indonesia Raya mulai beroperasi sejak 30 Oktober 1968 dan masalah manajemen
tersebut terselesaikan dengan damai dan diperkuat dengan surat perjanjian damai
pada tanggal 15 Oktober 1970. Saham yang
ada diusahakan menjadi milik anggota redaksi dan tata usaha. Awal penerbitan
Indonesia Raya dicetak sebanyak 20.000 eksemplar setiap hari dan meningkat
sampai 22.000 eksemplar pada tahun 1969. Pada tahun 1974 Indonesia Raya
mengalami peningkatan menjadi 41.000 eksemplar sebelum di bredel pemerintah.
Pembredelan tersebut dilakukan dengan mencabut Surat Izin Cetak (SIC) dan Surat
Izin Terbit (SIT).
Peristiwa Malari
Berikut kronologi peristiwa Malari,
pada tanggal 14 – 17 Januari 1974 terjadi demonstrasi di ibukota dan
menyebabkan peristiwa Malari. Tanggal 16
Januari, surat kabar Harian Nusantara dilarang terbit karena mengandung
nilai-nilai yang dianggap menghasut rakyat. 19 Januari SIC Suluh Berita
Surabaya dicabut izinnya oleh Pelaksana Khusus Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah. 20 Januari SIC Mahasiswa Indonesia
Bandung dicabut oleh Laksus Pangkopkamtibda Jabar. 21 Januari SIC Kami,
Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang, dan Pemuda Indonesia
dicabut.
Pada tanggal 2 Februari 1974, SIC
Mingguan Indonesia Pos dicabut. 13 Februari adanya pertemuan antara Menteri
Penerangan, PWI Pusat, dan SPS Pusat. Pemerintah mengingatkan pers untuk tetap
berpegang teguh pada 3 konsensus. 16 Februari SIT The Indonesia Times dan
Pelita terbit. 1 Maret semua surat kabar yang ada di Palembang, Jambi, dan
Lampung wajib memiliki SIC. 24 Maret semua penerbitan pers di Sumatera Utara
diwajibkan memiliki surat pernyataan tidak keberatan melakukan profesi di
penerbitan lain. 2 Mei The Jakarta Times menerima SIT baru. 21 Juni 1974, wakil
redaksi Indonesia Raya ditahan. 4 Februari 1975, pemimpin umum dan pemimpin
redaksi Indonesia Raya ditahan. Terakhir, pada tanggal 7 Agustus 1975,
penerbitan di Sulawesi Utara dan Tengah diwajibkan memiliki SIC.
MENGAMATI
ORDE BARU
Sumber: era.id
Awal
Tangan Besi Legislatif
Pada masa Orde Baru, diterbitkan UU No.11
tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers, Bab 2 Pasal 4 yang berisi “Pers
nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan” dan Pasal 5 Ayat 1 “Kebebasan
pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara” dan Bab 4 Pasal 8
Ayat 2 “Penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun”. Namun, tidak seperti
yang tertulis, penerbit-penerbit surat kabar membutuhkan Surat Izin Terbit
(SIT) dan Surat Izin Cetak (SIC). Tanpa keduanya, surat kabar akan di bredel
(Hill, 2011:35).
Gelombang Beredel di
1970-an
Tahun 1970, merupakan awal perpecahan
antara pemerintah dengan pers yang ditandai dengan pemberedelan massal oleh
pemerintah (Hill, 2011:37). Pada bulan Juli 1971, terjadi pencabutan surat ijin
pada redaksi Harian Kami dan Duta (Hill, 2011:38). Januari 1974, terjadi aksi-aksi demonstrasi
di Jakarta karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan
pemerintah. Akibatnya 470 demonstran ditangkap (Hill, 2011:37).
Operasi Pencabutan Izin
di Periode 1980-an
Pada tahun 1980-an, sejumlah kantor berita
dan pers diberedel kembali oleh pemerintah (Hill, 2011:40). Seperti, Jurnal
Ekuin dicabut izinnya oleh pemerintah karena menuliskan mengenai penurunan
harga ekspor minyak oleh pemerintah. Berita yang diterbitkan dinilai
“bertentangan dengan nilai-nilai Sistem Pers Pancasila” dan melanggar peraturan
pers Orde Baru (Hill, 2011:41).
Pada masa ini, berkembang anggapan bahwa
hanya pemerintah yang bisa mencabut izin terbit dari surat kabar (Hill,
2011:42). Namun, masyarakat dapat membuat izin tercabut. Monitor memuat
mengenai “angket popularitas” yang membuat masyarakat tidak terima.
Beredel Anakronistis di
Periode 1990-an
Periode awal pada tahun 1990-an merupakan
puncak dari kebebasan pers. Namun kembali terjadi konflik. 21 Juni 1994, Mentri
Penerangan mencabut izin dari Tempo, DeTIK, dan Editor. Ketiga surat kabar ini
ditutup karena mereka menuliskan bisnis keluarga presiden, pelanggaran HAM, dan
lain-lain. Tindakan pemerintah ini menimbulkan protes besar (Hill, 2011:45).
Kelompok Solidaritas Indonesia yang terbentuk memperjuangkan mengenai hak hak
kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan lain-lain.
Peringatan dan Tabu
Banyak surat kabar yang memilih untuk
bermain aman dengan bersikap hati-hati dengan pemerintah (Hill, 2011:48).
Namun, Suara Rakyat, yang merupakan surat kabar yang disponsori oleh
pemerintah, mendapatkan peringatan pula dari Departemen Penerangan.
Topik seperti menghasut, insinuasi,
sensasim spekulasi, dan suku, agama, ras, dan aliran (MISS SARA) tidak
diperbolehkan untuk diberitakan. (Hill, 2011:49). Pers juga tidak diperkenankan
untuk memberitakan tentang hal yang menyangkut pejabat pemerintahan.
Perizinan dan Peraturan
Pemerintah
Dalam campur tangannya, selain memberikan
hukuman, pemerintah juga memberikan iming-iming. Departemen Penerangan
mencanangkan program Koran Masuk Desa untuk meningkatkan literasi membaca
masyarakat Indonesia. Program ini ada karena 80% masyarakat Indonesia belum
terjamah produk pers. (Hill, 2011:52). Bulan September 1982, Departemen
Penerangan mengganti Surat Izin Terbit dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP).
Membelenggu Diri Sendiri
Yang lolos di 1970-an umumnya menjalin
pengertian dengan pemerintah Orde Baru. Pada kasus Monitor, diputuskan SIUPP
Monitor dicabut (Hill, 2011:58). Departemen Penerangan dan Serikat Penerbit
Suratkabar (SPS) juga menjalin
kesepakatan membatasi keluarnya surat izin.
Lembaga Pemerintahan dan
Bahan Industri
Pemegang otoritas untuk semua urusan pers
adalah Menteri Penerangan. Wewenang juga ada di tangan Direktorat Jendral
Pembinaan Pers dan Grafika yang memantau berbagai organisasi pers. (Hill 2011:
74). Selain ada Departemen Penerangan, terdapat juga Lembaga yang mengawasi
kegitan pers yaitu Dewan Pers. Dewan Pers lahir bertujuan menjadi titik temu
pemerintah dengan sejumlah organisai yang mewakili kepentingan pers seperti
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Serikat
Grafika Pers (SGP), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), dan
segelintir wakil masyarakat (Hill 2011: 75). Berdasarkan peraturan Mentri
Penerangan tahun 1969 (No. 02/PER/MENPEN/1969, bab 1 pasal 3) disebutkan bahwa
para jurnalis Indonesia wajib menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Bangkitanya Imperium-Imperium Pers
Kebangkitan
imperium pers ini ditandai setelah lengsernya orde baru yang dinilai terlalu
campur tangan dalam pers di Indonesia. Secara jelas dinyatakan bahwa pers
sendiri harus mandiri dalam mengembangkan bisnis mereka dan tetap harus
berhati-hati atas adanya kuasa pembredelan yang dilakukan oleh pemerintah. Dari
4 media besar yang berkuasa di Indonesia, 4 di antaranya tumbuh semenjak masa
Orde Baru, yang adalah:
1.
Kelompok Kompas Gramedia
Media
yang didirikan oleh Jakob Oetama dan Petrus Kanisius Ojong ini sebagai bentuk
penyuaraan Katolik pada era 1960-an. Kejayaan media ini didasarkan kedekatannya
dengan Partai Katolik dan pada masa tersebut banyak cendekiawan Katolik yang
berpengaruh. Pada masa kejayaannya KKG sempat mencapai penjualan 525.000 surat
kabar harian pada 1991. KKG sendiri memiliki 38 anak perusahaan yang mana
saling berkaitan (Hill, 2011:99)
KKG
sejak 1989 melebarkan sayapmya ke sejumlah surat kabar daerah seperti Aceh,
Palembang, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Selain itu KKG juga memiliki
penerbit dengan target spesifik seperti majalah untuk anak-anak, gaya hidup,
budaya anak muda, olahraga serta berbagai jenis lainnya.
2.
Kelompok Sinar Kasih
Sejak
didirikan di bawah nama Sinar Harapan pada 1961, Sinar Harapan membuat target
pangsa pembaca kelas menengah hingga pada 1971 menjadi surat kabar harian
dengan yang menerima iklan terbanyak kedua. Namun, pada beberapa waktu
berikutnya Sinar Harapan harus memotong 20 halamannya dan porsi iklannya hanya
bisa 30% dari sebelumnya. Sinar Harapan terkenal dengan peulisannya yang tegas
dan bahkan lebih agrsif daripada Kompas. Maka dari itu, sejak 1986, Sinar
Harapan diberedel oleh pemerintah.
3.
Kelompok Temo Grafiti / Jawa Pos
Tempo
didirikan oleh Goenawan Muhamad pada 1971, dan diterbitkan mingguan karena
terinspirasi dari majalah Time di AS. Tempo sendiri dinilai memiliki penulisan
yang informatif, artikulatif dalam ritme yang menarik dan jenaka sehingga mudah
diterima masyrakat. Namun, pada 1982 Tempo dibredel pemerintah karena dianggap
terlalu tajam dalm mengkritik rezim Orde Baru. Sejak 1994, Tempo memutuskan
untuk konsolidasi proyek baru yang diwujudkan pada 1995.
4.
Kelompok Media Indonesia / Surya Persindo
Media
yang didirikan oleh Surya Paloh pada tahun 1980-an yang tidak memiliki latar
belakang jurnlistik. Pada awalnya, Surya Persindo memproduksi Prioritas yang
dicetak oleh Sinar Agape Press milik Sinar Harapan. Pada 1987, Sinar Harapan
dibredel oleh pemerintah karena memuat hoax yang tidak sesuai fakta dan dinilai
sini, mengarah dan tendensius. Sehingga pada 1987, Surya Paloh mengajukan
permohonan SIUPP baru untuk surat kabar Realitas.
Pers Pinggiran
Pers
jenis ini adalah pers yang tidak terlalu mengutamakan perihal nilai komersial
dan memiliki sirkulasi yang terbatas. Biasanya keuntungan dari penjualan
cetakan hanya cukup untuk biaya produksi berikutnya. Berbda dengan pers
komersial, pers pinggiran hanya memerlukan izin berupa Surat Tanda Terdafta
(STT).
Pers Mahasiswa
Pers
Mahasiswa dimulai sejak 1955 yang dikelola oleh mahasiswa dari berbagai
fakultas dan universitas. Pada 1958, Pers Mahasiswa mendapat kesulitan karena
mendapat tekanan politik dan ekonomi hingga tahun 1965 dikarenakan surat kabar
diwajibkan bekerjasama dengan partai politik tertentu sehingga netralitas yang
coba dijunjung oleh Pers Mahasiswa semakin langka.
Referensi:
Anonim.
(2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Kompas.
Abar,
Akhmad Zaini. (1995). Kisah Pers Indonesia
1966-1974. LkiS Yogyakarta.
Hill, David
T. (2011). Pers di Masa Orde Baru. Jakarta:
Yayasan
Halo min apakah menurut mimin kebijakan otoriter orba selain mempunyai dampak positif apakah jga memiliki dampak negatif trdhp perkembangan jurnalis di Indonesia?
BalasHapus