POLITIK DAN KEBIJAKAN KOMUNIKASI

Makna dan Tujuan Kebijakan Komunikasi
            Menurut Unesco dalam Abrar (2008), kebijakan komunikasi merupakan sekumpulan prinsip dan norma yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur perilaku system komunikasi. Jika tidak ada kebijakan komunikasi, sistem komunikasi tidak dapat berjalan dengan baik dan lancar. Kebijakan komunikasi juga disebut sebagai kebijakan publik. Sebagai kebijakan public, maka kebijakan komunikasi harus dibuat dan disahkan oleh pemerintah.
            Kebijakan komunikasi mempunyai 5 kriteria, yaitu: mempunyai tujuan tertentu, berisikan tindakan pejabat pemerintah, memperlihatkan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah atau rencana, bersifat positif atau negatif, dan bersifat memaksa. Kebijakan komunikasi secara umum merupakan peraturan yang mengatur mengenai proses komunikasi masyarakat, baik dengan perantara media maupun yang tidak.
            Dari perspektif sosiologi, kebijakan komunikasi bertujuan untuk menempatkan proses komunikasi sebagai bagian dari dinamika sosial dan tidak merugikan masyarakat. Masyarakat harusnya yang mengendalikan proses komunikasi yang terjadi. Sedangkan pemerintah sebagai fasilitator. Kebijakan komunikasi dapat dikatakan ideal jika pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan komunikasi berhasil mengidentifikasikan kebutuhan dan masalah komunikasi yang terjadi.
            Menurut UU No. 10 Tahun 2004, hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu: UUD 1945, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah.

Pers, Masyarakat, dan Negara
Fred S. Siebert dan kawan-kawan (1986) memiliki pendapat terkait cara menghindari kajian dan studi yang historis dan normatif mengenai realitas dan dinamika di Indonesia. Fred S. Siebert beserta kawan-kawanya berpendapat bahwa negara harus mengkaji beberapa asumsi filosofis yang digunakan dan diyakini oleh negara tersebut untuk dijadikan pedoman dalam penataan negara serta masyarakatnya. Namun, pendapat yang dimiliki oleh Fred S. Siebert beserta kawan-kawannya ditolak sebab di negara dunia ketiga sering terjadi distorsi diatara harapan dan keinginan konstitusional, beberapa peraturan hukum positif serta paham resmi negara dengan realitas sosial dan praktik politik di dalam suatu negara. Penolakan pendapat Fred S. Siebert dan kawan-kawan menghasilkan cara lain untuk mengetahui realitas pers di suatu negara yaitu menggunakan pendekatan struktural di mana pendekatan tersebut berkaitan dengan eksistensi, realitas, dinamika, serta orientasi dan posisi pers suatu negara yang ditentukan oleh struktural masyarakat.
Di negara dunia ketiga seperti Indonesia kekuatan sosial, ekonomi, dan politiknya bersifat bipolar. Dikatakan demikian karena hanya terdapat dua kekuatan utama yang saling bersaing, yaitu politik negara dan politik masyarakat. Terdapat beberapa uraian teori secara singkat terkait dengan teori klasik dan teori modern mengenai hubungan masyarakat dan negara.

Negara dan Masyarakat: dari Netralisasi, Integralisasi, Otonomisasi, Dominasi, Alienasi, sampai Instrumentalisasi
Terdapat beberapa tokoh pemikir klasik yang memiliki pandangan yang khas, bahkan bertentangan satu sama lain mengenai hubungan negara dan masyarakat. Berikut pandangan dari tokoh-tokoh tersebut,
1.      John Locke
John Locke mengemukakan bahwa keberadaan kekuasaan dan kedaulatan raja atau negara ada karena masyarakat yang memberikan kewenangan kepada pemimpin. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi serta membela seluruh hak warganya namun tidak memberikan tuntutan kepada warganya sehingga negara dianggap sebagai institusi yang bersifat netral.
2.      Jean Jacques Rouseseau
Jean Jacques Rouseseau berpendapat bahwa negara dan masyarakat merupakan satu indentitas di mana keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling terikat. Hal tersebut terjadi karena yang menggabungkan masyarakat dan negara merupakan kehendak umum di mana keinginan warga negara dianggap sebagai kepentingan bersama sehingga Rouseseau menganggap integralitas dan totalitas hubungan antara warga dan negara karena baik negara maupun masyarakat sama-sama memasukkan secara total keduanya ke dalam dirinya sehingga tidak terjadi dualism ataupun alienasi.
3.      George Wilhelm Friendrich Hegel
Hegel memiliki pemikiran yang sama seperti Rouseseau namun Ia tidak menerima penetapan kehendak umum sebagai kehendak empirik seluruh warga negara. Dalam hal tersebut Hegel menganggap bahwa negara merupakan satuan yang rasional dan bijak tidak seperti masyakatnya karena sewaktu-waktu masyarakat bisa berpikir secara irasional. Anggapan tersebut dapat mengarahkan negara dalam derajat tertentu yaitu negara menjadi bersifat otoriter dan alienatif.
4.      Karl Marx
Marx berpendapat bahwa negara akan selalu berpihak pada kelas kapitalis sehingga Ia menganggap negara tidak memiliki sifat yang netral. Pada hal tesebut negara hanya menjadi alat kelas kapitalis untuk menguasai negara dengan mendayagunakan kaum buruh yang merupakan mayoritas masyarakat pada saat itu.

Model Hubungan Pers Masyarakat dan Negara
No.

Dominatif
Pluralistik
1.
Sumber kekuasaan
Elit politik – ekonomi (kelas dominan) / negara.
Banyak atau berbgai kelompok ( non negara) yang saling bersaing.
2.
Sistem Pemilikkan pribadi
Oleh sedikit orang yang mempunyai akses politik untuk menembus regulasi perizinan terbit serta akses ekonomi atau kemampuan ekonomi.
Oleh setiap orang yang mempunyai kemampuan idealisme jurnalistik serta modal ekonomi, tanpa ada regulasi perizinan terbit.
3.
Isi dan orientasi media
Lebih cenderung ke negara atau penguasa dan kelas ekonomi dominan
Lebih berorientasi ke masyrakat atau paling tidak kelompok-kelompok sosial politik non negara.
            Dalam model dominatif, kekuasaan memusat kepada negara atau elit politik dan biasanya media hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai akses pada kekuasaan pemerintahan. Sebaliknya dalam model pluralistik, biasanya kekuasaan terdistribusi ke berbagai kelompok sosial politik non negara, selain sebagian juga ke negara, pemilikan juga tersebar ke berbagai kelompok masyarakat tanpa ada hambatan regulasi perizinan.
            Ada dua proposisi sehubungan dengan kaitan pers dan politik. Yang pertama, apabila kedudukan politik dominan, maka pers akan menjadi sub-ordinan atau lemah dalam pembentukan kebijaksanaan politik. Kedua, apabila kedudukan politik masyarakat, termasuk pers, dominan dalam pebentukan kebijaksaan tertentu berarti negara sub-ordinan atau lemah.

Makna dan Tujuan Kebijakan Komunikasi
            Menurut Unesco dalam Abrar (2008), kebijakan komunikasi merupakan sekumpulan prinsip dan norma yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur perilaku system komunikasi. Jika tidak ada kebijakan komunikasi, sistem komunikasi tidak dapat berjalan dengan baik dan lancar. Kebijakan komunikasi juga disebut sebagai kebijakan publik. Sebagai kebijakan public, maka kebijakan komunikasi harus dibuat dan disahkan oleh pemerintah.
            Kebijakan komunikasi mempunyai 5 kriteria, yaitu: mempunyai tujuan tertentu, berisikan tindakan pejabat pemerintah, memperlihatkan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah atau rencana, bersifat positif atau negatif, dan bersifat memaksa. Kebijakan komunikasi secara umum merupakan peraturan yang mengatur mengenai proses komunikasi masyarakat, baik dengan perantara media maupun yang tidak.
            Dari perspektif sosiologi, kebijakan komunikasi bertujuan untuk menempatkan proses komunikasi sebagai bagian dari dinamika sosial dan tidak merugikan masyarakat. Masyarakat harusnya yang mengendalikan proses komunikasi yang terjadi. Sedangkan pemerintah sebagai fasilitator. Kebijakan komunikasi dapat dikatakan ideal jika pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan komunikasi berhasil mengidentifikasikan kebutuhan dan masalah komunikasi yang terjadi.
            Menurut UU No. 10 Tahun 2004, hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu: UUD 1945, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah.

Pers, Masyarakat, dan Negara
Fred S. Siebert dan kawan-kawan (1986) memiliki pendapat terkait cara menghindari kajian dan studi yang historis dan normatif mengenai realitas dan dinamika di Indonesia. Fred S. Siebert beserta kawan-kawanya berpendapat bahwa negara harus mengkaji beberapa asumsi filosofis yang digunakan dan diyakini oleh negara tersebut untuk dijadikan pedoman dalam penataan negara serta masyarakatnya. Namun, pendapat yang dimiliki oleh Fred S. Siebert beserta kawan-kawannya ditolak sebab di negara dunia ketiga sering terjadi distorsi diatara harapan dan keinginan konstitusional, beberapa peraturan hukum positif serta paham resmi negara dengan realitas sosial dan praktik politik di dalam suatu negara. Penolakan pendapat Fred S. Siebert dan kawan-kawan menghasilkan cara lain untuk mengetahui realitas pers di suatu negara yaitu menggunakan pendekatan struktural di mana pendekatan tersebut berkaitan dengan eksistensi, realitas, dinamika, serta orientasi dan posisi pers suatu negara yang ditentukan oleh struktural masyarakat.
Di negara dunia ketiga seperti Indonesia kekuatan sosial, ekonomi, dan politiknya bersifat bipolar. Dikatakan demikian karena hanya terdapat dua kekuatan utama yang saling bersaing, yaitu politik negara dan politik masyarakat. Terdapat beberapa uraian teori secara singkat terkait dengan teori klasik dan teori modern mengenai hubungan masyarakat dan negara.
Negara dan Masyarakat: dari Netralisasi, Integralisasi, Otonomisasi, Dominasi, Alienasi, sampai Instrumentalisasi
Terdapat beberapa tokoh pemikir klasik yang memiliki pandangan yang khas, bahkan bertentangan satu sama lain mengenai hubungan negara dan masyarakat. Berikut pandangan dari tokoh-tokoh tersebut,
1.      John Locke
John Locke mengemukakan bahwa keberadaan kekuasaan dan kedaulatan raja atau negara ada karena masyarakat yang memberikan kewenangan kepada pemimpin. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi serta membela seluruh hak warganya namun tidak memberikan tuntutan kepada warganya sehingga negara dianggap sebagai institusi yang bersifat netral.
2.      Jean Jacques Rouseseau
Jean Jacques Rouseseau berpendapat bahwa negara dan masyarakat merupakan satu indentitas di mana keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling terikat. Hal tersebut terjadi karena yang menggabungkan masyarakat dan negara merupakan kehendak umum di mana keinginan warga negara dianggap sebagai kepentingan bersama sehingga Rouseseau menganggap integralitas dan totalitas hubungan antara warga dan negara karena baik negara maupun masyarakat sama-sama memasukkan secara total keduanya ke dalam dirinya sehingga tidak terjadi dualism ataupun alienasi.
3.      George Wilhelm Friendrich Hegel
Hegel memiliki pemikiran yang sama seperti Rouseseau namun Ia tidak menerima penetapan kehendak umum sebagai kehendak empirik seluruh warga negara. Dalam hal tersebut Hegel menganggap bahwa negara merupakan satuan yang rasional dan bijak tidak seperti masyakatnya karena sewaktu-waktu masyarakat bisa berpikir secara irasional. Anggapan tersebut dapat mengarahkan negara dalam derajat tertentu yaitu negara menjadi bersifat otoriter dan alienatif.
4.      Karl Marx
Marx berpendapat bahwa negara akan selalu berpihak pada kelas kapitalis sehingga Ia menganggap negara tidak memiliki sifat yang netral. Pada hal tesebut negara hanya menjadi alat kelas kapitalis untuk menguasai negara dengan mendayagunakan kaum buruh yang merupakan mayoritas masyarakat pada saat itu.

Model Hubungan Pers Masyarakat dan Negara
No.

Dominatif
Pluralistik
1.
Sumber kekuasaan
Elit politik – ekonomi (kelas dominan) / negara.
Banyak atau berbgai kelompok ( non negara) yang saling bersaing.
2.
Sistem Pemilikkan pribadi
Oleh sedikit orang yang mempunyai akses politik untuk menembus regulasi perizinan terbit serta akses ekonomi atau kemampuan ekonomi.
Oleh setiap orang yang mempunyai kemampuan idealisme jurnalistik serta modal ekonomi, tanpa ada regulasi perizinan terbit.
3.
Isi dan orientasi media
Lebih cenderung ke negara atau penguasa dan kelas ekonomi dominan
Lebih berorientasi ke masyrakat atau paling tidak kelompok-kelompok sosial politik non negara.
            Dalam model dominatif, kekuasaan memusat kepada negara atau elit politik dan biasanya media hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai akses pada kekuasaan pemerintahan. Sebaliknya dalam model pluralistik, biasanya kekuasaan terdistribusi ke berbagai kelompok sosial politik non negara, selain sebagian juga ke negara, pemilikan juga tersebar ke berbagai kelompok masyarakat tanpa ada hambatan regulasi perizinan.
            Ada dua proposisi sehubungan dengan kaitan pers dan politik. Yang pertama, apabila kedudukan politik dominan, maka pers akan menjadi sub-ordinan atau lemah dalam pembentukan kebijaksanaan politik. Kedua, apabila kedudukan politik masyarakat, termasuk pers, dominan dalam pebentukan kebijaksaan tertentu berarti negara sub-ordinan atau lemah.

Sumber:
Abar, A.N. (2008). Kebijakan Komunikasi: Konsep, Hakekat, dan Praktek. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebijakan Komunikasi di Era Reformasi: Pers

KEBIJAKAN KOMUNIKASI PADA ERA KOLONIAL JEPANG DAN BELANDA