REGULASI KEBIJAKAN KOMUNIKASI MEDIA PADA ORDE BARU RADIO, TELEVISI, DAN FILM



Radio
Pada masa orde baru media penyiaran merupakan salah satu media yang digunakan untuk menyebarkan berbagai informasi terkait peristiwa yang terjadi pada masa tersebut. Selain itu media tersebut dijadikan sebagai alat untuk melakukan propaganda (Adiwilaga, Alfian, & Rusdia, 2018).
Media penyiaran yang digunakan pada saat itu yaitu radio. Radio bersifat lokal di mana artinya radio dapat dijangkau oleh setiap kalangan dan diwaktu-waktu tertentu ketika seseorang sedang melakukan sebuah kegiatan atau perkerjaan sehingga radio dapat membangkitkan hubungan dengan pendengarnya (Sudibyo, 2004).
Radio merupakan salah satu media yang menggunakan gelombang elektromagnetik sehingga terdapat beberapa pengaturan dari lembaga independen, yaitu:
1.      Hak sipil dan politik warga tetap terpenuhi melalui lembaga independen karena warga negara merupakan pemilik frekuensi.
2.      Kepentingan pluralisme penyiaran tetap terjaga sesuai dengan amanat UUD 1945.
Terdapat pengaturan alokasi frekuensi di dalam undang-undang yang mengatur kegiatan siaran agar tidak terjadi tabrakan frekuensi (Masduki, 2007).
RRI (Radio Republik Indonesia) merupakan stasiun radio yang pertama kali didirikan di awal masa orde baru tahun 1966. Konten yang ada di dalam pemyiaran radio RRI berupa persuasi dan pendidikan. Siaran yang dilakukan RRI juga berguna untuk menyampaikan informasi terkait program yang diadakan oleh pemerintah Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, stasiun radio di Indonesia berkembang dengan adanya kmunculan stasiun radio swasta. Hal tersebut memicu pemerintah untuk membuat sebuah regulasi yang dapat mengatur penyiaran di Indonesia yaitu munculnya Peraturan Pemerintah No 55 tahun 1970 terkait Radio Siaran Non-Pemerintah. Regulasi tersebut dimunculkan agar pemerintah dapat mengontrol media penyiaran agar tidak merusak citra orde baru di masyarakat. Pada pasal 3 ayat 5 dikatakan bahwa seluruh konten penyiaran harus dituliskan di buku kerja harian agar pemerintah dapat mengontrol media penyiaran. Kemudian pada pasal 5 ayat 4 dikatakan bahwa kontrak radio swasta hanya diberi waktu 1 tahun setelah itu penentuan perpanjangan tergantung pada pemerintah.
Pada tahun 1974 PRSSNI didirikan (Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia) yaitu merupakan organisasi yang wajib diikuti oleh stasiun radio swasta. Selain itu, stasiun radio swasta diwajibkan untuk mempublikasikan berita yang disiarkan oleh RRI (Hikmat, 2018).
Pada tahun 1997 pemerintah mengeluarkan UU No 24 tahun 1997 yang memuat berbagai aturan bagi media penyiaran di Indonesia (Masduki, 2007). Pada bagian ketiga pasal 10 ayat 2 mengatakan bahwa kewenangan pemerintah yaitu menyiarkan pemberitaan ke seluruh wilayah Indonesia sedangkan pasal 16 ayat 1 mengatakan bahwa radio swasta hanya diizinkan menyiarkan di wilayah tertentu. Pada bagian keempat pasal 11 ayat 3 konten politik, ideologi, agama, serta aliran tertentu tidak dapat disiarkan oleh radio swasta. Berikut beberapa aturan yang dikeluarkan oleh Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus, yaitu:
1.      Penyelenggaraan siaran radio melalui satelit: meliputi seluruh wilayah Indonesia
2.      Penyelenggaraan siaran radio melalui terrestrial: meliputi wilayah sekitar
3.      Penyelenggaraan siaran radio melalui kabel: meliputi daerah sekitar.
Film
        Film diartikan sebagai media pembebasan. Maksud dari media pembebasan adalah pembuat film dapat berekspresi secara bebas dalam sebuah film. Selain itu, film juga digunakan untuk strategi komunikasi pada saat Jepang masuk ke Indonesia. Jepang menggunakan strategi komunikasi ini untuk propaganda (Utomo, 2018). Pada masa orde baru, pemerintah sangat melibatkan diri pada perkembangan industri film, sehingga pembuat film tidak dapat bebas berekspresi dalam suatu karyanya itu (Kurnia, 2006). Hal ini dikarenakan oleh adanya penerapan ideologi kapitalisme pada ekonomi politik pada masa itu.
 Regulasi perfilman di Indonesia terbagi menjadi tiga (Panjaitan dan Aryani dalam Kurnia, 2006), yaitu:
1.      Tahun 1940 pada masa pemerintahan penjajahan Belanda: Ordonansi Film No 507
2.      Masa Orde Lama: Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun 1965
            3.      Masa Orde Baru: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992
        Pada tahun 1975-1977, Menteri Penerangan mengeluarkan kebijakan perfilman, yaitu Keputusan Menteri Penerangan No. 47/Kep/Menpen/76 tentang perluasan penggunaan dana impor film, yang sebelumnya untuk proses produksi film, perfilman secara umum, dan media massa. Namun diambil juga untuk keperluan dana taktis Menpen (Utomo, 2018).
       Pada dekade 1970-an sampai 1980-an produksi film di Indonesia mengalami peningkatan yang tinggi. Hal ini karena pemerintah mengeluarkan kebijakan impor film dengan pembiayaan dalam negeri. Pada masa itu, Dirjen RTF Umar Kayam di bawah Menteri Peneranngan B.M Diah mengeluarkan kebijakan SK 71 pada tahun 1967 yang mengatur tentang pertumbuhan film nasional secara kuantitatif (Luthfi dalam Kurnia, 2006).

Perkembangan Kebijakan Film Impor di Indonesia sebagai berikut (Sabidi dalam Kurnia, 2006):
1.      Tahun 1950-1965: Adanya dominasi pemerintah dalam penolakan film impor yang berasal dari Amerika Serikat
2.      Tahun 1965-1978: Pemerintah Indonesia mendominasi pembangunan infrastruktur perfilman
3.      Tahun 1978-1989: Adanya dominasi pemodal tunggal dalam praktek pemusatan impor film
4.      Tahun 1989-1998: Adanya peran pemodal asing dan pemerintah asing dalam penguatan dominasi pemodal Indonesia
5.      Tahun 1998-2004: Bangkitnya industri perfilman Indonesia dan dikuasai oleh distribusi film impor kelompok 21

-          Kebijakan Sensor Film
Pada masa itu, film digunakan untuk hiburan dan propaganda oleh pemerintah untuk mendukung program-program yang dibuat oleh pemerintah (Utomo, 2018). Hal ini yang menyebabkan adanya regulasi yang ketat, salah satu regulasi yang dibuat mengenai sensor film dan berfokus pada pemotongan adegan dan dialog hingga larangan beredar menjadi sebuah kontrol bagi pemerintah.
Pada tahun 1967-1998 didirikannya Badan Sensor Film (BSF) yang memiliki anggota sebanyak 33 orang, terdiri dari 24 orang yang mewakili pemerintah dan 9 orang yang mewakili partai politik. Seiring berjalannya waktu, BSF mengalami pengurangan anggota. Pada tahun 1971, keanggotaa BSF yang berunsu partai politik dihapuskan, dan pada tahun 1973-1974, jumlah anggota BSF menjadi 20 orang yang terdiri dari unsur pemerintah dan non-pemerintah (Erwantoro, 2011).

-          Kebijakan Finansial
Film-film Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto digiring ke aspek politik pembangunan dan pencapaian ekonomi pemerintahan orde baru. Menteri Perdagangan mengeluarkan Surat Keputusan yang mewajibkan setiap importer film membayar Rp. 250.000,00 untuk setiap film yang diimpor melalui Yayasan Film. Dana tersebut dipinjamkan kepada produser tanpa dikenakan bunga (Utomo, 2018).

-          Kebijakan Tata Edar Film
Badan Pembinaan Film Daerah atau BAPFIDA didirikan pada tahun 1975 pada tingkat provinsi. BAPFIDA dibekali tugas agar dapat melakukan sensor film fi provinsi-provinsi yang telah ditempati. BAPFIDA dan BSF adalah lembaga yang berbeda. BAPFIDA tidak dapat memotong ataupun mengubah film, tetapi dapat melarang penayangan dan pengedaran film tersebut di wilayah kekuasaannya (Utomo, 2018).
Televisi
Pemerintah dan rakyat sangat mengkehendaki adanya media televisi muncul di Indonesia. Kemudian dibuatlah Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, Lampiran A, Bab I, Pasal 18 yang menyebutkan bahwa pembangunan siaran televisi yang ada di Indonesia tahap awal dibatasi pada tempat-tempat yang ada Universitasnya di Indonesia untuk tujuan pendidikan. Kemudian pada tahun 1961, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Penerangan Nomor 20/SK/M/61 tanggal 25 Juli 1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2TV). (Panjaitan, 1999: 2). P2TV ini mengatur berbagai hal tentang persiapan pembangunan televisi di Indonesia.
Sejarah pertelevisian di Indonesia dimulai dengan hadirnya TVRI pada tahun 1962. Pada siaran pertmanya, TVRI menyiarkan perhelatan Asian Games tahun 1962 di mana kala itu Indonesia menjadi tuan rumah kala itu. Kemudian pada tanggal 30 Oktober 1963 dibentuklah dan diterbikanlah Keputusan Presiden No. 215 tahun 1963 yang merupakan cikal bakal lahirnya Yayasan Televisi Republik Indonesia.
Penelenggaraan televisi di Indonesia dibagi menjadi 3 bagian besar yang mana adalah:
1. Periode Monopoli TVRI
Pada era Monopoli ini, yayasan TVRI memegang monopoli pengaturan sistem penyiaran televisi di Indonesia. Banyak yang menganggap bahwa ada beberapa bagian dari Keputusan Presiden Nomor 215 Tahun 1963 kurang tepat. Salah satu penyebab terjadinya monopoli oleh TVRI adalah di satu sisi kepemilikan yayasan TVRI yang dimiliki oleh Presiden. Sebenarnya, era monopoli TVRI dalam bidang penyelenggaraan sistem penyiaran televisi di Indonesia secara de jur e berlangsung sampai dengan 1986 dan secara de facto sampai tahun 1990. Padahal sudah jelas bahwa pengaturan pada Keppres Nomor 215 Tahun 1963 itu tidak dapat dibenarkan (Panjaitan, 1999: 16).
2. Era Pembaruan
Pada era pembaruan ini dibagi menjadi 4 bagian di mana terjadi sejak tahun 1971 sampai pada 1997. Pembaruan yang pertama pada rentang 1971 sampai pada 1986. Pada tanggal 3 Mei 1971, pemerintah mengeluarkan keputusan Menteri Penerangan Nomor 54/B/KEP/MENPEN/1971 tentang Penyelenggaraan Siaran Televisi di Indonesia. Keputusan ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memperbaiki sistem penyelenggaraan penyiaran televisi di Indonesia dan adanya perkembangan yang sangat pesat pada pertelevisian di Indonesia. Pada tahap kedua, Keluarnya Keputusan Menteri Penerangan Nomor 167/B/KEP/MENPEN/1986 tentang Penyelenggaraan Siaran Televisi di Indonesia tanggal 20 Agustus 1986, menandakan dimulainya era pembaruan tahap dua. Kemudian pada era pembaruan tahap ketiga adalah Siaran Saluran Terbatas TVRI yang ditungkan dalam Keputusan Menteri Penerangan RI Nomor 190A/KEP/MENPEN/1987 tanggal 20 Oktober 1987. Terakhir pada era pembaruan tahap 4 adalaah ketika Era ini dimulai ketika lahirnya Keputusan Menteri Penerangan Nomor 111/KEP/MENPEN/1990 tentang Penyiaran Televisi di Indonesia tanggal 24 Juli 1990.
3. Era Kemitraan
Ditandai pada Tahun 1997 adalah tahun dimana dimulainya kebangkitan hukum penyiaran di Indonesia. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran tanggal 29 September 1997, namun perundang-undangan ini baru aktif berlaku pada 29 September 1999.

Sumber:

Adiwilaga, R., Alfian, Y., & Rusdia, U. (2018). sistem pemerintahan indonesia.

Erwantoro, H. (2011). Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya dalam Perspektif        Sejarah (1945-2009). Jurnal Patanjala. 3(2), 365-383. Dari             http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/dow  nload/283/229

Hikmat, H. M. (2018). Jurnalistik: Literary Journalism.

Kurnia,  N. (2006). Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman. Jurnal Ilmu Sosial dan       Ilmu Politik. 9(3), 271-296. Dari     https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11026/8267
masduki. (2007). regulasi penyiaran: dari otoriter ke liberal.

Panjaitan, H. (1999). Memasung Televisi: Kontroversi Regulasi Penyiaran di Era Orde Baru. Institut Studi Arus Informasi. Jakarta
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1970

Sudibyo, A. (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran.

Sudibyo, Agus. (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran.

Utomo, S.Y. (2018). Kebijakan Perfilman Indonesia pada Masa

Orde Baru (1967-1998).         Karya Ilmiah

UU No. 24 Than 1997 Tentang Penyiaran




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebijakan Komunikasi di Era Reformasi: Pers

KEBIJAKAN KOMUNIKASI PADA ERA KOLONIAL JEPANG DAN BELANDA