Kebijakan, Hukum, dan Regulasi bidang Telekomunikasi (frekuensi, internet, dan informatika)
Posisi
dan Semangat Undang-Undang Telekomunikasi dan Penyiaran
A. Dasar Kelahiran Undang-Undang
Undang-Undang Telekomunikasi lahir
pada tahun 1999, pada saat akhir periode Orde Baru. Pada zaman deregulasi,
Undang-Undang Telekomunikasi telah diproses dan dipelopori oleh Margaret
Thatcher dan Ronald Reagan sejak tahun 1980-an. Selanjutnya terdapat koreksi
konsep deregulasi oleh John Mayor pada tahun 1997 dengan lahirnya konsep baru
yang disebut dengan Better Regulation.
Better regulation ini adalah
pendekatan yang memandang regulasi yang baik tetap penting. Selain itu, better regulation juga dibuat untuk
menutupi dan menjawab kelemahan dan kegagalan konsep deregulasi yang tidak
menjawab mengenai masalah keadilan (Rahayu, 2015).
Pada tahun 1980-an dan 1990-an
terdapat Paket Kebijakan Oktober 1988 (Pakto) dan regulasi-regulasi lainnya
yang meliberalisasi dunia perbankan Indonesia. Hingga saat ini orang asing
tetap diperbolehkan untuk memiliki saham mayoritas di industri perbankan
Indonesia, begitu juga dengan industri telekomunikasi (Rahayu, 2015).
Undang-Undang Perbankan dan Telekomunikasi lahir dari proses deregulasi dan
liberalisasi sebelumnya. Rancangan Undang-Undang juga sudah ada sebelum tahun
1998.
Sejak tahun 1996, RUU Telekomunikasi
telah dibuat oleh pemerintah. Selain itu, pada tahun 2000 terdapat studi
mengenai Undang-Undang Telekomunikasi oleh Indonesia
Media Law and Policy Centre (IMLPC) dan Internews,
yang menjelaskan bahwa, pada saat itu masyarakat luas tidak memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi pemerintah. Kemudian, pada tanggal 8 September 1999,
Undang-Undang Telekomunikasi disahkan oleh Presiden Habibie. Undang-Undang
Telekomunikasi menyebabkan adanya kolaborasi antara negara dan kapitalis. Hal
ini dikarenakan oleh pemerintah memberikan kebebasan pada pemodal asing
(Rahayu, 2015).
Undang-Undang Pers 1999 dan
Undang-Undang Penyiaran 2002 lahir dari proses reformasi (Rahayu, 2015).
Catatan penting yang perlu disampaikan dari Undang-Undang Pers dan
Undang-Undang Penyiaran adalah, dalam Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang
Pers mengandung prinsip liberal. Pada masa itu hal tersebut dapat diterima oleh
semua pihak, baik dari pemerintah, industri, maupun masyarakat. Hal ini terjadi
karena, Indonesia membutuhkan regulasi baru yang dapat membuka jalan agar
demokrasi yang setelah bertahun-tahun berada pada sistem dan rezim otoriter.
Indonesia membutuhkan regulasi yang menjamin kebebasan berekspresi, berpendapat
dan pers, yang menjadi sebuah landasan bagi demokrasi informasi dan komunikasi.
Sedangkan dalam Undang-Undang Pers tidak mengatur sistem dan institusi media
penyiaran yang menggunakan frekuensi milik publik. Namun lebih mengatur tentang
karya jurnalisme baik dari media elektronik maupun media cetak.
Undang-Undang Pers disahkan pada
tanggal 23 September 1999 oleh Presiden Habibie. Semua masyarakat dan industri
sangat mendukung Undang-Undang Pers, sehingga lahirlah Undang-Undang No. 40
tahun 1999 tentang Pers. Selain Undang-Undang Pers, terdapat juga Undang-Undang
No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-Undang Penyiaran ini mengatur
tentang media penyiaran yang menggunakan frekuensi publik. Terjadi perbedaan
pendapat antara pihak-pihak industri yang bersiaran nasional bersifat lokal dan industri penyiaran
nasional dengan masyarakat umum. Undang-Undang Penyiaran ini terbit pada masa
pemerintahan Megawati. Presiden Megawati tidak menandatangani Undang-Undang
Penyiaran, tetapi Undang-Undang Penyiaran ini harus tetap dijadikan
undang-undang, karena harus dinyatakan sah sebagai undang-undang setelah lewat
masa tertentu dan telah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah (Rahayu,
2015).
B. Demokrasi
Indonesia
Konstitusi Indonesia sangat
menekankan penegakkan prinsip kehidupan yang demokratis dan keadilan (Rahayu,
2015). Dalam Pancasila, keadilan mendapat tempat yang sangat penting, ialah
kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kepentingan nasional menjadi kepentingan utama.
Selain itu, negara Indonesia juga
menyatakan akan menegakkan desentralisasi melalui otonomi daerah sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18, 18A, 18B (Rahayu, 2015). Menurut UUD 1945,
Indonesia tidak hanya menjamin hak politik dan sipil melalui prinsip menjamin
kebebasan berbicara, berpendapat, berorganisasi, dan berpolitik sesuai dengan
yang tercantum pada pasal 27, 28, dan 29. Tetapi, demokrasi Indonesia juga
menjamin hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat sesuai dengan yang
tercantum pada pasal 31, 32, 33, dan 34.
C. Demokratisasi
Telekomunikasi/ Komunikasi dan Penyiaran
Tolok ukur negara demokratis adalah
adanya jaminan kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berbicara, dan kemerdekaan
pers (Rahayu, 2015). Namun, jaminan itu saja tidak cukup, harus ada jaminan
mengenai keragaman suara, keragaman konten, dan keragaman kepemilikan. Jaminan
keragaman tersebut membutuhkan praktik keadilan. Dengan mengutamakan
kepentingan nasional rakyat Indonesia, menghargai seluruh warga negara, dan
penghargaan terhadap kaum-kaum minoritas. Tanpa adanya jaminan terhadap
keberagaman, maka akan membuka peluang munculnya otoritarianisme baru, yaitu
dominasi asing dan oligopoli oleh orang-orang yang mengatasnamakan kebebasan,
dan membunuh demokrasi.
D. Regulasi
Telekomunikasi dan Penyiaran
Dalam Undang-Undang Telekomunikasi
menyatakan bahwa, penyelenggara telekomunikasi terbagi menjadi tiga institusi,
yaitu: Penyelenggara jaringan telekomunikasi, Penyelenggara jasa
telekomunikasi, dan Penyelenggara telekomunikasi khusus. Indonesia sendiri
membiarkan penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi dikuasai oleh orang
asing. Selain itu, regulasi membiarkan penyelenggara jaringan untuk mengontrol
dan memiliki penyelenggara jasa telekomunikasi.
Dunia penyiaran dengan jelas
menyatakan bahwa, orang asing tidak boleh menguasai lembaga penyiaran.
Undang-Undang Telekomunikasi Indonesia bersifat liberal, sedangkan
Undang-Undang Penyiaran yang diharapkan dapat berpihak pada kepentingan
nasional dan publik belum dipraktikkan. Dalam Undang-Undang Telekomunikasi saat
ini, penyiaran dimasukkan sebagai penyelenggara telekomunikasi khusus. Namun,
penyiaran tidak dapat hanya disebut sebagai penyelenggara telekomunikasi
khusus. Hal ini dikarenakan oleh kompleksitas dan peranan penyiaran sangat
besar, salah satunya dalam membentuk opini publik.
E. Regulasi
Media, Khususnya Penyiaran
Pada umumnya regulasi media diatur
dengan melihat suatu media menggunakan ranah publik (public domain) atau tidak. Contoh media yang tidak menggunakan
ranah publik adalah surat kabar, film, majalah, tabloid, dan buku. Media ini
menggunakan pengaturan yang berdasarkan prinsip pengaturan diri sendiri.
Sedangkan lembaga penyiaran yang menggunakan ranah publik yang free to air dan terestrial, regulasi
radio dan televisinya berlangsung dengan ketat. Di negara Indonesia, memiliki
regulator antara lain Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Lembaga-lembaga ini saling bekerja
sama satu dengan yang lain.
Regulasi media elektronik yang
menggunakan ranah publik dilakukan dengan ketat, karena media elektronik
menggunakan ranah publik, spektrum gelombang radio dalam bentuk frekuensi
dipergunakan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat dan kesejahteraan publik,
frekuensi yang digunakan bersifat terbatas, dan siaran televisi dapat memasuki
dan menembus ruang keluarga dengan serentak tanpa diundang. Industri penyiaran
diatur dengan ketat oleh undang-undang dan bersifat khusus. Teknologi semakin
hari semakin berkembang, dunia penyiaran telah memasuki dunia digital. Namun,
Undang-Undang Telekomunikasi belum banyak mengatur tentang perkembangan
teknologi digital dan konvergensi media, begitu pula dengan Undang-Undang
Penyiaran.
Undang-Undang Telekomunikasi dan
Penyiaran saling berkaitan. Dalam digitalisasi penyiaran atau penyelenggara
multipleksing, tidak boleh diserahkan kepada perusahaan asing, Undang-Undang
Telekomunikasi harus direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi,
digitalisasi penyiaran harus ada dalam undang-undang yang telah memperkirakan
Undang-Undang Telekomunikasi dan perubahan zaman, dan frekuensi yang tidak
digunakan lagi diserahkan untuk kepentingan sosial.
F. Mencari
Model Penyiaran Publik
Undang-Undang Penyiaran No. 32
menjamin dan mendorong lahirnya Lembaga Penyiaran Swasta, Publik, dan
Komunitas. Namun, tekanan liberalisasi dan pasar sangat kuat, sehingga dunia
penyiaran Indonesia dikuasai oleh swasta dan negara tidak dapat berbuat banyak
dalam menegakkan peraturan perundang-undangan.
Indonesia memiliki 1.178 stasiun
radio, 775 stasiun radio adalah radio komersial dan menjadi anggota Persatuan
Radio Swasta Nasional (PRSSNI) (Media Scene dalam Rahayu, 2015). Selebihnya
merupakan stasiun radio komersial non-PRSSNI, radio publik lokal, radio
komunitas, dan kurang lebih 77 stasiun RRI. Dalam bidang televisi komersial,
terdapat kira-kira 400 lembaga penyiaran. 218 stasiun televisi nasional yang
dikuasai oleh lima perusahaan (Komisi Penyiaran Indonesia dalam Rahayu, 2015).
Terdapat pula TVRI yang memiliki 27 stasiun televisi yang tersebar di seluruh
Indonesia. dalam lembaga penyiaran publik, TVRI dan RRI dibangun atas dasar
konsep PSB (Public Service Broadcasting)
seperti Eropa Barat dengan penyesuaian-penyesuaian keindonesiaan, yaitu lembaga
penyiaran publiknya dibiayai oleh negara, namun dikelola secara independen.
Undang-Undang Penyiaran yang baru diharapkan dapat memberi perincian terkait
pembiayaan, supaya RRI dan TVRI dapat mentransformasikan dirinya dengan jelas
sehingga dapat menjadi Public service
Broadcasting (PSB).
G.
Memberdayakan
RRI dan TVRI
Selama ini RRI dan TVRI tidak
mendapat perhatian yang layak. Beberapa orang melihat permasalahan ini dengan
pragmatis dan sederhana, permasalahannya adalah kurangnya perhatian negara
dalam membantu RRI dan TVRI secara finansial. RRI dan TVRI seharusnya mendapatkan
bantuan yang cukup besar dari pemerintah, contohnya sekitar Rp 2-5 triliun per
tahun. Lembaga legislatif, eksekutif, regulator penyiaran, terutama Kementerian
Komunikasi dan Informatika, rata-rata tidak memahami peran dan fungsi dari
lembaga penyiaran publik. Sehingga terjadinya perubahan status TVRI menjadi
perusahaan jawatan, lalu perseroan terbatas, kemudian menjadi lembaga penyiaran
publik.
Menurut Rahayu (2015), pada tanggal
14 Desember 2009, Wakil Presiden dalam sambutannya di acara ulang tahun ke-72
Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, mengatakan akan mengimbangi media massa
di luar pemerintah, unit-unit media massa pemerintah, yaitu: Antara, RRI, TVRI,
diminta untuk saling bekerja sama. Menurut Rahayu (2015), pada tanggal 14
Desember 2009, Wakil Presiden dalam sambutannya di acara ulang tahun ke-72
Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, mengatakan akan mengimbangi media massa
di luar pemerintah, unit-unit media massa pemerintah, yaitu: Antara, RRI, TVRI,
diminta untuk saling bekerja sama. Namun, sebenarnya suatu lembaga penyiaran
publik tidak boleh menjadi corong bagi pemerintah dan harus bersifat
independen.
Beberapa pejabat negara tidak
mengerti akan posisi TVRI yang bersifat independen, bila biaya produksi TVRI
sendiri berasal dari pemerintah. Selain itu juga, banyak pihak yang tidak paham
akan posisi dan peranan lembaga penyiaran publik, contohnya peran dari RRI dan
TVRI. Hal ini menyebabkan perlunya tekanan bahwa Lembaga Penyiaran Publik bukan
merupakan lembaga komersial yang dikontrol oleh pemerintah, tetapi lembaga
independen milik publik (World Radio and
Television Council dalam Rahayu, 2015). Alasan adanya Lembaga Penyiaran
Publik ini adalah untuk melayani publik, berkomunikasi dengan setiap warga
negara, menawarkan dan memberikan akses untuk partisipasi publik dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, menambah pengetahuan, memperluas
cakrawala berpikir, dan memberdayakan masyarakat untuk mengerti posisi dirinya
dengan lebih mengerti dunia dan kehidupan sekitarnya (Banerjee dalam Rahayu,
2015). Selain itu juga tidak ada pemahaman mengenai lembaga penyiaran publik
merupakan institusi penting dalam sistem penyiaran demokratis yang dijamin dan
diberdayakan di samping lembaga penyiaran swasta dan komunitas.
Berdasarkan Peraturan Kominfo No. 22
tahun 2011, izin Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing
(LPPPM) diberikan kepada lembaga penyiaran yang telah memiliki IPP. Namun,
peraturan tersebut dianggap salah, karena seharusnya kesempatan dibuka kepada
semua pihak untuk memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran digital kepada
setiap badan hukum terlebih dahulu, kemudian baru dipilih dan diseleksi pihak
manakah yang menjadi LPPPM. Atau dapat juga menggunakan cara pengelola LPPM
diberikan kepada badan usaha milik negara yang independen terhadap lembaga
penyiaran. Harus ada independensi dan keadilan terhadap lembaga penyiaran.
Untungnya, PTUN membatalkan seluruh keputusan menteri mengenai pengelola LPPM,
yang tercantum pada Permen No. 22 tahun 2011 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah
Agung.
Lembaga penyiaran publik memiliki
peranan dan fungsi yang berbeda dengan lembaga penyiaran swasta. Walaupun
keduanya untuk kepentingan publik, karena keduanya sama-sama menggunakan
frekuensi milik publik. Lembaga penyiaran publik bersifat non-komersial,
sedangkan yang swasta bersifat komersial. Dalam pasal transisi terdapat
perintah dari undang-undang agar audit dan evaluasi total dilakukan oleh
pimpinan RTRI melalui lembaga independen agar lebih efisien dan efektif. Hal
ini dikarenakan oleh, audit dan evaluasi total harus dilakukan oleh badan yang
bersifat independen. Memberdayakan RRI dan TVRI adalah sebuah keharusan yang
harus dilakukan.
Struktur
Pasar: Konsentrasi Bisnis dan Dominasi Asing
Pada bab ini membahas khusus tentang
peraturan dalam media penyiaran di Indonesia. Yang difokuskan dalam bab ini
adalah kepada keadilan dan pengaturan untuk kesejahteraan perusahaan-perusahaan
media yang bergerak di bidang penyiaran. Dalam bab ini, juga membahas mengenai
bagaimana permodalan dan regulasi serta persaingan dalam bisnis penyiaran di
Indonesia.
A. Jenis Usaha Telekomunikasi
Menurut Undang-Undang Telekomunikasi
no.36 tahun 1999 menyatakan bahwa, ada 3 jenis usaha telekomunikasi yaitu:
jenis usaha penyelenggaraan dan jaringan telekomunikasi. Jenis usaha ini
berkaitan dengan penyediaan dan juga pelayanan jaringan komunikasi sehingga
memungkinkan terlaksananya usaha telekomunikasi. Berdasarkan pada Peraturan
Pemerintah no. 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika no. 01/PER/M. Kominfo/01/2010,
penyelenggara jaringan telekomunikasi terdiri dari penyelenggara jaringan tetap
dan jaringan bergerak.
Selanjutnya yang kedua adalah usaha
penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Jenis usaha ini merupakan dengan
penyediaan dan pelayanan jasa telekomunikasi. Penyedia layanan telekomunikasi
sendiri berkaitan dengan penyediaan jasa konten dan aplikasi yang meliputi
penyelenggaraan jasa teleponi dasar, penyelenggara jasa nilai tambah teleponi
dan penyelenggaraan jasa multimedia. Yang termasuk dalam penyediaan jasa
teleponi dasar adalah penyelenggaraan jasa telepon, faksimile, teleks,
telegraf, dan data seperti jaringan telepon pintar, televisi berbayar dan akses
internet.
Yang terakhir adalah jenis usaha penyelenggara
telekomunikasi khusus yang merujuk kepada sarana telekomunikasi yang
peruntukannya lebih dikhususkan. Dalam hal ini, sarana telekomunikasi yang
dimiliki oleh perseorangan serta sarana telekomunikasi pemerintah yang
dimanfaatkan dalam kerja pemerintahan, keamanan negara dan penyiaran. Salah
satu contohnya adalah stasiun radio amatir dan komunikasi antar penduduk.
Sedangkan telekomunikasi yang dimanfaatkan oleh dinas ke pemerintahan contohnya
adalah seperti komunikasi departemen atau pemerintahan daerah.
B. Konsentrasi Bisnis Telekomunikasi
Dalam praktik bisnis jenis usaha
telekomunikasi di Indonesia, secara garis besar dikuasai oleh 4 pemain utama
yang menguasai lini usaha, penyelenggaraan, jasa maupun telekomunikasi khusus.
Yang pertama adalah Telkom yang merupakan BUMN telekomunikasi terbesar di
Indonesia. Telkom sendiri menyediakan berbagai jaringan telekomunikasi mulai
dari layanan e-payment, cloud based dan server based managed services, IT enabler, e-commerce dan portal lainnya. Telkom juga bergerak dalam bidang
penyediaan layanan GSM. Telkom juga menyediakan layanan televisi kabel, radio
gameing, browsing dan live TV. Di dalam grup Telkom, juga terdapat raksasa yang
menguasai provider GSM di Indonesia, yaitu Telkomsel.
Penguasa telekomunikasi di Indonesia
selanjutnya adalah XL Axiata. Media ini menyediakan pelayanan broadband, serta
provider GSM yang besar di Indonesia. XL Axiata juga bergerak di bidang
pelayanan machine to machine, mobile
advertising, automatic meter reader, electronic data capture, enterprise mobile
solution, vehicle tracking, dan sebagainya.
Selanjutnya, adalah Indosat yang
bergerak dalam bidang penyediaan bundling dan layanan internet seluler, IT
servis, dan TV link.
Struktur
Pasar: Konsentrasi Bisnis dan Dominasi Asing
Pada bab ini membahas khusus tentang
peraturan dalam telekomunikasi dan juga media penyiaran di Indonesia. Yang
difokuskan dalam bab ini adalah kepada keadilan dan pengaturan untuk
kesejahteraan untuk perusahaan-perusahaan media yang bergerak di bidang
penyiaran. Maka dari itu, bab ini akan khusus berbicara mengenai bagaimana
pengaturan dalam struktur pasar di usaha telekomunikasi dan media penyiaran.
Selain itu juga, bab ini akan membahas mengenai bagaimana permodalan dan regulasi
serta persaingan dalam bisnis penyiaran di Indonesia. (Rahayu, 2015).
Menurut UU no. 36 tahun 1999 tentang
Telekomunikasi bahwa telekomunikasi adalah:
- Telekomunikasi
adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap
informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan
bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik
lainnya;
- Alat telekomunikasi adalah
setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
- Perangkat telekomunikasi adalah
sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
- Sarana dan prasarana
telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung
berfungsinya telekomunikasi;
- Pemancar radio adalah alat
telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
- Jaringan telekomunikasi adalah
rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam
bertelekomunikasi;
- Jasa telekomunikasi adalah
layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan
menggunakan jaringan telekomunikasi;
- Penyelenggara telekomunikasi
adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan
instansi pertahanan keamanan negara;
- Pelanggan adalah perseorangan,
badan hukum. instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi
dan atau atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
- Pemakai adalah perseorangan,
badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi
dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
- Pengguna adalah pelanggan dan
pemakai;
- Penyelenggaraan telekomunikasi
adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga
memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
- Penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan
telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
- Penyelenggaraan jasa
telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi
yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
- Penyelenggaraan telekomunikasi
khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan
pengoperasiannya khusus;
- Interkoneksi adalah
keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan
telekomunikasi yang berbeda;
- Menteri
adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi.
A.
Jenis Usaha Telekomunikasi
Berdasarkan pada Undang-Undang no.
36 tahun 1999, ada 3 jenis usaha telekomunikasi yang diatur di dalamnya. Yang
pertama adalah jenis usaha peyelenggaraan jaringan telekomunikasi. Lalu yang
kedua adalah jenis usaha penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Serta yang ketiga
adalah jenis usaha penyelenggaraan telekomunikasi khusus. (Rahayu, 2015).
Untuk yang pertama, yatu jenis usaha
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi atau yang berkaitan dengan penyediaan
dan pelayanan jasa telekomunikasi. Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah no. 52
tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika No. 01/PER/M. Kominfo/01/2010 yang menyatakan
tentang jenis-jenis dari penyelenggara jaringan telekomunikasi. Penyelenggara
jaringan telekomunikasi dibagi atas 2 jenis yaitu penyelenggara jaringan tetap dan
penyelenggara jaringan bergerak. Sementara itu, untuk penyelenggara jaringan
tetap dibagi lagi menjadi 4 jenis yaitu penyelenggara jaringan tetap lokal,
sambungan, jarak jauh, internasional, dan tertutup. Berikutnya, untuk
penyelenggara jaringan bergerak juga dibagi atas3 jenis yaitu jaringan bergerak
terestrial, seluler dan satelit. (Rahayu, 2015).
Untuk jenis usaha penyelenggaraan
jasa telekomunikasi adalah usaha yang berhubungan dengan pelayanan dan
penyediaan jasa telekomunikasi yang di dalamnya terdiri dari jasa konten dan
aplikasi. Menurut Peraturan Pemerintah no. 52 tahun 2000, penyelengaraan jasa
telekomunikasi meliputi penyelenggaraan jasa teleponi dasar, nilai tambah
teleponi dan multimedia. Berdasarkan pada Keputusan Menteri Perhubungan no. 29
tahun 2004, bahwa penyelenggaraan jasa teleponi dasar adalah penyelenggaraan
jasa teleponi dasar adalah jasa telepon dengan telkonlogi circuit switched
seperti faksimili, teleks, telegraf dan data. Selanjutnya, jasa nilai tambah
teleponi adalah penyelenggaraan jasa yang menawarkan layanan tambah untuk
teleponi dasar, lain jasa teleponi melalui jaringan pintar (IN), kartu panggil
(callingcard), jasa-jasa dengan
teknologi interaktif voice response dan
radio panggil untuk umum. (Rahayu, 2015).
Jenis usaha penyelenggara telekomunikasi khusus merujuk pada
penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya
khusus. Berdasarkan Undang-Undang Telekomunikasi No. 36 tahun 1999 dan
penjelasannya, bahwa penyelenggara telekomunikasi khusus terdiri atas
telekomunikasi khusus perseorangan, pemerintah untuk mendukung kegiatan
pemerintah, dinas, keperluan pertahanan keamanan negara, dan penyiaran.
telekomunikasi khusus perseorangan adalah penyelenggaraan telekomunikasi guna
memenuhi kebutuhan perseorangan, misalnya radio amatir dan komunikasi penduduk.
Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah adalah
penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas umum
instansi tersebut, misalnya, komunikasi departemen atau komunikasi pemerintah
daerah. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk dinas khusus adalah
penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung kegiatan dinas yang
bersangkutan, antara lain, kegiatan navigasi, penerbangan, atau meteorologi. Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus untuk badan hukum adalah penyelenggaraan telekomunikasi
yang dilakukan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan
usaha swasta, atau koperasi, misalnya telekomunikasi perbankan, telekomunikasi
pertambangan, atau telekomunikasi perkeretaapian. (Rahayu, 2015).
B. Konsentrasi Bisnis Telekomunikasi
1. Telkom Group
Telkomsel
merupakan anggota dari Telkom Group. perusahaan ini adalah operator seluler
yang menyediakan beragam pilihan layanan, antara lain pelayanan
telepon/komunikasi seluler, internet, loop,
penjualan smartphone, program bundling, pelayanan aplikasi, digital advertising, enterprise service. Loop adalah layanan komunikasi yang menyediakan informasi mulai
dari artikel hingga video dan medium interaksi. Program bundling adalah penawaran paket penjualan smartphone dan internet. Digital
advertising merupakan penawaran sebuah platform
yang memungkinkan pengiklan mempromosikan produk dan layanan mereka ke
pelanggan Telkomsel berdasarkan profil tertentu. Sedangkan, enterprise service merupakan pelayanan
telekomunikasi yang berbasis kebutuhan pelanggan korporat. (Rahayu, 2015).
2. Indosat
Indosat seperti halnya Telkom Group
dan XL-Axiata menawarkan produk dan pelayanan yang hampir sama, antara lain:
pelayanan telepon/komunikasi seluler, internet,
bundling, IT services dan infrastruktur, satelit yang menyewakan kapasitas
transponder berbasis bandwidth dan TV link (pelayanan untuk para news agent dan news broadcaster). Indosat memperoleh lisensi tambahan frekuensi 3G
dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Bahkan anak perusahaannya, yaitu
IM2, memenangkan tender untuk lisensi WiMAX yang diadakan pemerintah, yang
dinilai banyak pihak sangat strategis dalam bisnis telekomunikasi. (Rahayu,
2015).
3. XL Axiata
Perusahaan XL atau XL-Axiata
merupakan perusahaan telekomunikasi swasta yang beroperasi di Indonesia sejak 8
Oktober 1996. Perusahaan ini adalah penyedia layanan seluler bagi ritel (consumer solutions) dan pelanggan
korporat (business solution). XL
memiliki pelayanan telepon/komunikasi seluler, pelayanan data korporat,
pelayanan broadband untuk korporat,
pelayanan Machine to Machine (M2M), mobile adverstising, pelayanan teknologi cloud computing ataukomputasi awan, hingga pelayanan digital merchants. Pelayanan Machine to Machine
(M2M) adalah sebuah layanan yang memungkinkan
perangkat elektronik saling berkomunikasi, seperti, automatic meter reader, electronic
data capture, enterprise mobile
solution, vehicle tracking, dsb.
(Rahayu, 2015).
C.
Konsentrasi Bisnis Penyiaran
Ada empat kelompok besar yang
menguasai bisnis penyiaran saat ini, yaitu MNC (PT Media Nusantara Citra Tbk),
EMTEK (PT Elang Mahkota Teknologi Tbk.), Grup VIVA (PT Visi Media Asia), dan CT
Corp.
- MNC
PT MNC Investama Tbk melalui PT
Media Nusantara Citra Tbk (MNC) memiliki secara langsung empat (grup) media,
yaitu PT Rajawali Citra Televisi Indonesia/RCTI (dengan persentase kepemilikan
100%), PT Global Informasi Bermutu/GIB (100%),
PT Cipta Televisi Pendidikan
Indonesia/CTPI (75%), dan PT MNC Networks/MNCN (98%). Perusahaan induk yaitu
(PT Media Nusantara Citra Tbk) tidak hanya memiliki bisnis penyiaran, tapi juga
mengelola sejumlah bisnis lainnya yang berhubungan dengan industri kreatif,
antara lain: bisnis media cetak dan online, agensi periklanan, produksi isi
siaran dan manajemen artis.
2.
EMTEK
EMTEK
(PT Elang Mahkota Teknologi, Tbk) memiliki langsung empat grup perusahaan
media, yaitu: PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) dengan persentase kepemilikan
74.47%, PT Omni Intivision (Omni) (99.99%), PT Mediatama Anugrah Citra (MAC)
(99,99%), dan PT Kreatif Media Karya (KMK) (99,99). PT Surya Citra Media
Tbk (SCMA) berdiri pada 29 Januari
1999 sebagai perusahaan yang memberikan pelayanan jasa multimedia dan
konsultasi hal-hal yang berhubungan dengan media.
3. Grup VIVA
Grup VIVA (PT Visi Media Asia)
berkolaborasi dengan Bakrie Telecom dan Bakrie Connectivity. Dalam profil
perusahaan yang dipublikasikan melalui situs web, Grup VIVA menguasai tiga
lembaga penyiaran televisi, yaitu TV One, ANTVdan Viva News. Kepemilikan PT
Visi Media Asia pada perusahaan-perusahaan penyiaran tersebut mencapai hampir
100%. Kelompok Bakrie (Bakrie and Brothers) sendiri tak hanya bergerak di
bidang penyiaran, tetapi juga memiliki cakupan bisnis yang cukup luas,
meliputi: perdagangan dan jasa, batubara, agribisnis, telekomunikasi, minyak
dan gas bumi, property, metal, dan infrastruktur.
4. Grup CT
Grup CT membawahi 3 (tiga) divisi
bisnis, yaitu Mega Corp (perbankan, asuransi, capital market, dan finansial),
Trans Corp (Trans TV, Trans 7, dan detikcom) dan CT Global Resources
(Agrobisnis). Berdasarkan data dari situs web tentang profil perusahaan,
diketahui
bahwa dalam Trans Corp ada 4 (empat)
bidang yang dikelola. Selain Trans TV (PT Televisi Transformasi Indonesia),
Trans 7 (PT Duta Visual Nusantara Tivi) dan juga detikcom, terdapat perusahaan
retail (Carrefour), lifestyle (trans food & beverage, trans fashion, metro,
tour), dan entertainment (trans studio and property, dsb.).
D.
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Di
Indonesia, pengaturan tentang hal ini tertuang dalam Undang-Undang No. 5 tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pada
Pasal 4 Ayat (1) undang-undang tersebut, antara lain, terdapat larangan bagi
pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat. Pelaku usaha dinyatakan melakukan praktik monopoli jika 2 atau 3
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu. Pangsa pasar dalam undang-undang
diartikan sebagai persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu
yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender
tertentu. Ketentuan lain juga menyangkut penetapan harga. Pasal 5 Ayat (1)
menegaskan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga dasar atas suatu barang dan atau jasa yang
harus dibayarkan oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama. (Rahayu, 2015).
E.
Permodalan di Telekomunikasi: Dominasi Asing
Undang-Undang Telekomunikasi tidak
mengatur kepemilikan modal secara eksplisit. Undang-undang ini hanya mengatur
siapa yang dapat menyelenggarakan bisnis telekomunikasi. Seperti misalnya
penyelenggara jasa dan jaringan telekomunikasi adalah: Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), Badan Usaha Miliki Daerah (BUMD), badan usaha swasta atau koperasi.
Oleh karena tidak ada pengaturan yang spesifik di dalam undang-undang tersebut,
pengaturan kepemilikan dalam industri telekomunikasi mengikuti ketentuan
sejumlah undang-undang, antara lain: Undang-Undang tentang Pasar Modal No. 8
tahun 1995, Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat No. 5 tahun 1999, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas
No. 40 tahun 2007, dan Undang-Undang tentang Penanaman Modal No. 25 tahun 2007.
Dalam
industri ini, meskipun terdapat pembatasan kepemilikan silang, ketentuan yang
dibuat tidak terlalu tegas diberlakukan. Ada persoalan penegakkan hukum.
Sebagai ilustrasi, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas memuat ketentuan
bahwa “perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki sendiri maupun
dimiliki oleh perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung
telah dimiliki oleh perseroan” (Pasal 36). Ini berarti pengeluaran saham pada
prinsipnya adalah suatu upaya pengumpulan modal, oleh karena itu kewajiban
penyetoran atas saham seharusnya dibebankan kepada pihak lain.
Ketentuan
ini dilanggar dalam kasus monopoli yang menyeret perusahaan telekomunikasi
milik Singapura, Temasek Holdings (Kagramanto, 2008). Perusahaan ini melalui
dua anak perusahannya, yaitu Singapore Technologies Telemedia (STT) dan
Singapore Telecom Mobile (SingTel), telah menanamkan modalnya berupa saham
sebesar 41,94% melalui special purpose vehicle (SPV) Indonesia. Communication
Ltd. (ICL) dan STT di Indosat. Sementara itu, SingTel sendiri telah menguasai
35% saham PT Telkomsel. Ini berarti Temasek Holdings melalui kedua anak
perusahaannya menguasai lebih dari 75% dari pangsa pasar telekomunikasi di
Indonesia. Monopoli ini dapat berdampak serius karena perusahaan dapat dengan
mudah menentukan tarif (price fixing).
F.
Permodalan di Penyiaran
Berbeda dengan telekomunikasi yang
permodalannya banyak didominasi asing, penyiaran berdasarkan undang-undang
didominasi oleh modal dalam negeri. Undang-Undang Penyiaran dalam Pasal 17 Ayat
(1 dan 2) secara tegas mengatur kepemilikan oleh warga negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia dan membatasi jumlah modal. “(1) Lembaga
Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) didirikan dengan
modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia. (2) Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan
pengembangan dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing, yang
jumlahnya tidak lebih dari 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh modal dan
minimum dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.”
Meskipun
sudah ada pengaturan yang cukup jelas tentang kepemilikan dan pembatasan usaha,
namun dalam praktiknya masih juga dijumpai konsentrasi usaha. Seperti telah
dipaparkan di depan, tetap saja terjadi konglomerasi dalam kepemilikan televisi
di Indonesia dikuasai oleh beberapa kelompok saja, yaitu: MNC (PT Media
Nusantara Citra Tbk), EMTEK (PT Elang Mahkota Teknologi Tbk.), Grup VIVA (PT
Visi Media Asia), dan CT Corp.
G.
Kewenangan Negara Dalam Pertelekomunikasian
Berdasarkan pada Undang-Undang nomor 36 tahun 1999, Negara
melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pegawai Negeri
Sipil berwenang untuk melakukan penyidikan:
- Selain
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
- Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang:
- melakukan pemeriksaan atas
kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang telekomunikasi;
- melakukan pemeriksaan terhadap
orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
- menghentikan penggunaan alat
dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang
berlaku;
- memanggil orang untuk didengar
dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
- melakukan pemeriksaan alat dan
atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan
dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- menggeledah tempat yang diduga
digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- menyegel dan atau menyita alat
dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga
berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- meminta bantuan ahli dalam
rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
dan
- mengadakan penghentian
penyidikan.
- Kewenangan
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
H.
Tantangan Regulasi ke Depan
Pada masa yang akan datang, struktur
telekomunikasi akan semakin rumit oleh struktur berlapis sebagai dampak dari
konvergensi. Tantangan di sini adalah bagaimana regulator nantinya dapat
mengatur kerangka kerjasama antar-layer yang mewakili suatu jenis usaha
(Harsono, 2013: 226). Struktur layanan digambarkan akan semakin terpisah pisah
menurut fungsinya. Operator tidak lagi perlu menyediakan layanan terintegrasi
secara vertikal dari mulai jaringan akses sampai dengan konten atau jasa namun
lebih fokus pada penyediaan salah satu atau beberapa layanan baik berupa
konten, aplikasi jaringan transport, atau jaringan akses. Dengan kata lain,
konvergensi akan memengaruhi perubahan struktur pasar dari yang bersifat
oligopolistik menjadi lebih kompetitif. Hal ini ditandai dengan semakin
mudahnya untuk pesaing baru untuk masuk dalam industri ini dengan entry barrier
cost yang rendah. (Rahayu, 2015).
- HAk dan Kewajiban Penyelengara
dan Masyarakat
Berdasarkan bagian kelima, UU nomor
36 tahun 1999 tentang TElekomunikasi berbicara tentang:
Hak
dan Kewajiban Penyetenggara dan Masyarakat
Pasal
12
- Dalam
rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan
telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau
melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai
Pemerintah.
- Pemanfaatan atau pelintasan
tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berlaku
pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
- Pembangunan,
pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari
instansi pemerintah yang bertanggung, jawab dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
13
Penyelenggara telekomunikasi dapat
memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk
tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi
setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal
14
Setiap pengguna telekomunikasi
mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa
telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
15
- Atas
kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan
kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti
rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
- Penyelenggara telekomunikasi
wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kecuali
penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
- Ketentuan
mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
16
- Setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
- Kontribusi pelayanan universal
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berbentuk penyediaan sarana dan prasarana
telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
- Ketentuan
kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
17
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara
jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
- perlakuan
yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
- peningkatan efisiensi dalam
penyelenggaraan telekomunikasi; dan
- pemenuhan
standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.
Pasal
18
- Penyelenggara
jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa
telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
- Apabila pengguna memerlukan
catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat 1, penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
- Ketentuan
mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
19
Penyelenggara jaringan
telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan
telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pasal
20
Setiap penyelenggara telekomunikasi
wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian
informasi penting yang menyangkut:
- keamanan
negara;
- keselamatan jiwa manusia dan
harta benda;
- bencana alam;
- marabahaya; dan atau
- wabah penyakit.
Pasal
21
Penyelenggara telekomunikasi
dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang
bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban
umum.
Pasal
22
Setiap orang dilarang melakukan
perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
- akses
ke jaringan telekomunikasi; dan atau
- akses ke jasa telekomunikasi;
dan atau
- akses
ke jaringan telekomunikasi khusus.
Sumber
Daya Frekuensi: Milik Siapa, Untuk Siapa?
Frekuensi
atau spektrum gelombang radio merupakan sumber daya utama bagi masyarakat yang
digunakan dalam hal penyelenggaraan penyiaran dan telekomunikasi. Frekuensi
digunakan oleh berbagai golongan masyarakat dan instansi pemerintahan sehingga
hal tersebut memunculkan beberapa kebijakan dan pengaturan dalam penggunaan
frekuensi dengan menerapkan prinsip keadilan. Beberapa uraian yang mengulas
terkait tantangan pengelolaan frekuensi ke depan.
A. Frekuensi Radio: Terbatas dan Milik
Publik
Terdapat beberapa istilah penyebutan
dari frekuensi yaitu “the spectrum”,
“the airwaves”, “the radio spectrum”, dan Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002
menyebut “spektrum frekuensi radio”. Frekuensi radio sendiri didefinisikan
sebagai suatu gelombang yang merambat di udara serta ruang angkasa tanpa suatu
penghantar buatan yang ada pada rentang radiasi elektromagnetik di bawah 3000
GHz. Frekuensi radio merupakan sumber daya terbatas hal tersebut telah
dinyatakan oleh ITU (International
Telecommunication Union) hal tersebut dapat dibuktikan yaitu dengan
memperhatikan ketika sebuah stasiun radio atau televisi menggunakan suatu
frekuensi maka stasiun televisi atau radio tidak dapat menggunakan frekuensi
yang sama. Frekuensi radio dianggap sebagai sumber daya terbatas karena terkait
dengan ketersediaannya dan potensi pemanfaatannya yang terbatas dalam ruang dan
waktu tertentu. Misalnya yaitu ketika satu stasiun radio atau televisi
menggunakan frekuensi tertentu maka stasiun radio dan televisi yang lain tidak
dapat menggunakan frekuensi tersebut. Apabila stasiun tv atau radio tetap
menggunakan frekuensi yang sama maka akan berakibat pada interferensi atau noice.
Frekuensi radio tidak hanya dianggap
sebagai sumber daya terbatas namun juga milik publik karena frekuensi radio
merupakan public resource yang
dikelola oleh negara sehingga frekuensi radio dimiliki dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Pasal 33 Ayat 3 UUD 45 menyatakan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat.” Kemudian Undang-Undang Penyiaran No. 32
tahun 2002 juga menegaskan bahwa spektrum frekuensi radio merupakan ranah
publik dan sumber daya alam terbatas dan penggunaannya harus berorientasi untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ITU (International Telecommunication Union) setiap 1% pertumbuhan
teledensitas akan meningkatkan 3% pertumbuhan ekonomi suatu negara. Menurut
Undang-undang No 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi diharapkan dapat
meningkatkan pembangunan di sektor telekomunikasi dengan memanfaatkan sumber
daya alam terbatas yaitu spektrum frekuensi radio. Namun kenyataannya
masyarakat yang menggunakan frekuensi harus menyewa terlebih dahulu dengan
membayar sewa atas hak penggunaan frekuensi. Kemudian pengguna frekuensi
dilarang menyerahkan frekuensi ke pihak lain. Jika pengguna tidak dapat
memanfaatkan frekuensi maka Ia harus mengembalikan frekuensi ke negara serta
dalam pengelolaanya harus mempertimbangkan kepentingan publik.
B. Prinsip Pengelolaan Frekuensi Radio
Pengelolaan frekuensi radio dianggap
penting karena bertujuan untuk memastikan penggunaan yang optimal serta
menjamin akses yang adil dan wajar bagi masyarakat. Pengelolaan frekuensi radio
dapat dikaitkan dengan berbagai aspek yaitu secara ekonomi, ITU(International Telecommunication Union)
mengatakan dengan melakukan pengelolaan yang tepat terhadap frekuensi radio
maka akan menimbulkan a multiplier of
wealth yaitu dengan memberikan peluang bagi industri penyiaran dan
telekomunikasi dalam meningkatkan produk serta pelayanan. Hal tersebut dapat
dicontohkan dengan penggunaan telepon, telepon dapat mempermudah masyarakat
untuk berkomunikasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hubungan. Selain itu
dengan adanya internet masyarakat dapat menambah wawasan berupa pengetahuan
yang diperoleh melalui internet.
Pengelolaan frekuensi harus tepat
dengan mengetahui kebutuhan publik dan mengalokasi frekuensi dengan baik.
Pengelola frekuensi harus menyeleksi berbagai pihak yang dianggap berpotensi
untuk mengelola frekuensi dengan memaksimalkan penggunaan frekuensi dari aspek
ekonomi, sosial, dan budaya.
C. Persoalan Pengelolaan Frekuensi
Radio
Perencanaan terkait penggunaan
frekuensi radio di Indonesia tercantum dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika No. 25 tahun 2014 mengenai Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio
Indonesia yaitu:
Pasal
1
Dalam
Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Telekomunikasi adalah
setiap pemancaran, pengiriman atau penerimaan tiap jenis tanda,gambar, suara
daninformasi dalam bentuk apapun melalui sistem kawat,optik, radio, atau sistem
elektromagnetik lainnya.
2. Spektrum Frekuensi
Radio adalah kumpulan pita frekuensi radio.
3. Pita Frekuensi Radio
adalah bagian dari spektrum frekuensi radio yang mempunyai lebar tertentu.
4. Kanal Frekuensi Radio
adalah bagian dari pita frekuensi radio yang akan ditetapkan untuk suatu
stasiun radio.
5. Alokasi Frekuensi Radio
adalah pencantuman pita frekuensi radio tertentu dalam Tabel Alokasi Spektrum
frekuensi Radio Indonesia dengan tujuan
untuk digunakan oleh satu atau beberapa dinas radio komunikasi terestrial
atau Dinas radio komunikasi ruang
angkasa berdasarkan persyaratan tertentu. Istilah ini wajib diterapkan pula
untuk pita frekuensi radio terkait.
6. Penetapan (assignment) Pita Frekuensi Radio atau
Kanal Frekuensi Radio adalah otorisasi yang diberikan oleh menteri kepada
suatu stasiun radio
untuk menggunakan frekuensi radio atau kanal frekuensi radio berdasarkan
persyaratan tertentu.
7. Peraturan Radio (Radio Regulations) adalah Peraturan Radio (Radio
Regulation) adalah peraturan
tentang spektrum frekuensi radio
yang ditetapkan oleh
ITU berdasarkan hasil pertemuan World Radio communication Conference ITU.
8. Perhimpunan
Telekomunikasi Internasional (International
Telecommunication Union) yang selanjutnya disebut ITU adalah badan khusus
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani bidang telekomunikasi/teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) termasuk di dalamnya urusan komunikasi radio.
9. Menteri adalah Menteri
yang tugas dan anggung jawabnya di bidang telekomunikasi.
Pasal
2
1. Perencanaan penggunaan
spektrum frekuensi radio nasional dinyatakan
dalam Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia.
2. Tabel Alokasi Spektrum
Frekuensi Radio Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) disusun berdasarkan tabel alokasi spektrum frekuensi radio yang
terdapat dalam Peraturan Radio edisi Tahun 2012 yang ditetapkan oleh ITU (International Telecommunication Union).
3. Tabel Alokasi
Spektrum Frekuensi Radio
Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal
3
1. Tabel Alokasi Spektrum
Frekuensi Radio Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2
digunakan sebagai acuan untuk:
a. perencanaan
penggunaan pita frekuensi radio (band
plan);
b. perencanaan
penggunaan kanal frekuensi radio (channeling
plan).
2. Ketentuan lebih
lanjut mengenai perencanaan penggunaan pita frekuensi radio
(band plan) dan perencanaan
penggunaan kanal frekuensi radio (channeling
plan) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal
4
Setiap
penetapan frekuensi radio wajib sesuai dengan alokasi pita frekuensi radio yang
terdapat dalam Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia.
Pasal
5
Semua
penetapan frekuensi radio yang sudah ada dan tidak sesuai dengan alokasi pita
frekuensi radio yang terdapat dalam Tabel Alokasi Spektrum Frekuensi Radio
Indonesia ini
wajib
menyesuaikan paling lama 5 (lima) tahun sejakPeraturan Menteri ini mulai
berlaku.
Pasal
6
Pada
saat Peraturan Menteri ini berlaku:
1. Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor: 29/PER/M.KOMINFO/07/ 2009 tentang Tabel
Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia;
2. Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor: 40/PER/M.KOMINFO/10/2009 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika Nomor
29/PER/M.KOMINFO/07/2009 tentang Tabel
Alokasi Spektrum Frekuensi Radio Indonesia; dan
3. Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor: 25/PER/M.KOMINFO/07/2010 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor
29/PER/M.KOMINFO/07/2009 tentang Tabel Alokasi Spektrum
Frekuensi Radio Indonesia;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan Menteri
ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini
dengan penempatannya
dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Peraturan tersebut merupakan rujukan dari
Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2000 tentang penggunaan spektrum frekuensi
radio dan orbit satelit. Kemudian Peraturan Radio edisi tahun 2012 (Radio Regulation, edition of 2012). Inti
dari peraturan tersebut yaitu berisi tentang perencanaan penggunaan pita
frekuensi radio (band plan) dan
perencanaan penggunaan kanal radio (channeling
plan). Kemudian yang terakhir yang menjadi rujukan yaitu Peraturan Presiden
No. 96 tahun 2014 tentang Rencana Pita lebar yaitu e-Pemerintahan, e-Kesehatan, e-Pendidikan, e-Logistik, dan e-Pengadaan.
Berikut beberapa fakta di lapangan:
1. Ketidakpedulian pada komunitas
Alokasi dilakukan secara tidak adil
karena hanya mengutamakan kepentingan bisnis.
2. Inkonsistensi dalam pengelolaan
Pemerintah menganjurkan agar penyelenggara
penyiaran bersiap berimigrasi ke digital namun pemerintah juga menyediakan
kanal baru untuk penyiaran analog.
3. Hak istimewa bagi pengusaha besar
dan telekomunikasi
Berdasarkan undang-undang penyiaran
terdapat tiga bentuk lembaga penyiaran yang berizin yaitu lembaga penyiaran
publik yang memiliki jatah frekuensi terbatas, penyiaran swasta menerima jatah
frekuensi paling besar, kemudian sisanya diperoleh melalui tender.
4. Kepentingan bisnis dan eksploitasi
pasar atas frekuensi
Pelaku bisnis dalam bidang
telekomunikasi mengeksploitasi dengan cara berbagi frekuensi. Hal tersebut
dianggap sebagai penghambat bisnis telekomunikasi.
5. Teknologi mendikte kebijakan
frekuensi
Terdapat korban berjatuhan terkait
dengan kebijakan ini sebab pemerintah melakukan pemaksaan terhadap peralihan
teknologi digital.
6. Pengelolaan frekuensi oleh publik
Pengelolaan frekuensi seharusnya
tidak penuh di tangan pemerintah karena pengelolaan frekuensi oleh user
dianggap cukup kuat dalam melakukan penyiaran.
D. Tantangan Pengelolaan Kedepan
Tantangan pengelolaan kedepan
terkait dengan frekuensi yaitu teknologi akan semakin canggih seiring dengan
perkembangan zaman hal tersebut akan mendorong kebutuhan frekuensi radio yang
semakin bervariasi. Alokasi frekuensi radio yang akan muncul yaitu, radio local area networks, personal
communication services, digital radio broadcasting, mobile satellite service,
wireless local access, dan high
definition televition. Selain itu jumlah frekuensi yang akan dialokasikan
terkait dengan bisnis, keamanan negara, fasilitas umum, dan komunitas.
BRTI
(Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia)
Telekomunikasi bersifat
berubah-ubah, tidak memiliki batasan, dapat mengubah tatanan dunia, mengubah
pola pikir manusia, mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan sehari-hari seluruh
manusia (BRTI, 2016). Kurang lebih satu
dekade, telekomunikasi Indonesia telah memasuki sejarah baru. Melalui
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, regulasi ini dapat
menghilangkan privilege monopoli.
Hilangnya privilege monopoli,
muncullah era kompetisi. Di era kompetisi ini, kompetitor diundang masuk
menjadi operator jaringan dan jasa. Selain itu, pada tahun 1999 juga lahirnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Setelah banyaknya kompetisi
telekomunikasi, muncullah pihak-pihak yang meminta dibentukkan badan regulasi
independen. Sehingga dibentuklah sebuah Badan Regulasi Mandiri (IRB - Independent Regulatory Body).
Dengan adanya badan ini, diharapkan dapat melindungi kepentingan publik yang
menggunakan telekomunikasi, mendukung, dan melindungi kompetisi bisnis
telekomunikasi yang sehat, efisien, dan menarik investor-investor lain (BRTI,
2016).
Menurut BRTI (2016), pada tanggal 11
Juli 2003, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 31 Tahun
2003 tentang penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). BRTI
merupakan terjemahan dari IRB versi pemerintah yang diharapkan dapat menjadi
Badan Regulasi yang ideal.
Terdapat banyak komentar yang menganggap
pemerintah setengah hati menerima BRTI (BRTI, 2016). Hal ini dikarenakan oleh
salah satu personel BRTI, sekaligus menjadi Ketua ialah Dirjen Postel.
Kepmenhub No.31 Tahun 2003 telah diubah menjadi Peraturan Menteri Kominfo No.
25/Per/M.Kominfo/11/2005 tentang Perubahan Pertama atas Keputusan Menteri
Perhubungan No. KM. 31 Tahun 2003 tentang Penetapan Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia tidak memberikan wewenang eksekutor kepada BRTI. Hal
ini juga tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 67 Tahun 2003 tentang
Tata Hubungan Kerja antara Departemen Perhubungan dengan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
Daftar
Pustaka
Badan
Regulasi Telekomunikasi Indonesia. (2016). Tentang
BRTI. Diakses pada 20 Mei 2019. http://www.brti.or.id/profile
Kominfo. (2018). Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informatika Nomor 25 Tahun 2014 tanggal 18 Agustus 2014. Diakses pada 20
Mei 2019 pukul 20.13 WIB dari https://jdih.kominfo.go.id/produk_hukum/view/id/222/t/peraturan+menteri+komunikasi+dan+informatika+nomor+25+tahun+2014+tanggal+18+agustus+2014
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_36_99.htm
diakses pada 20 Mei 2019 pukul 20.03
Rahayu, dkk. (2015). Menegakkan Kedaulatan Telekomunikasi dan
Penyiaran di Indonesia. PR2Media Yogyakarta dan Yayasan Tifa Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar